Sakit di Sekolah, Siswi Pintar Aceh: Ayah Tak Punya Beras, Saya Kelaparan

Reza Gunadha Suara.Com
Sabtu, 10 Agustus 2019 | 14:02 WIB
Sakit di Sekolah, Siswi Pintar Aceh: Ayah Tak Punya Beras, Saya Kelaparan
Putri Dewi Nilaratih. [Facebook]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Ketika banyak pejabat negara yang tertangkap tangan KPK karena dugaan korupsi atau masih berkeliaran, maka perhatikanlah ini: Putri Dewi Nilaratih.

Putri Dewi terlihat pucat, lesu, dan keringat dingin mengucur pada wajahnya. Pelajar SMP 4 Peureulak, Kabupaten Aceh, ini tidak mengeluh.

Namun, teman-temannya melihat Putri sedang menahan sakit. Dan benar, Putri sakit. Perutnya lapar. Sejak Rabu (7/8.2019) pagi, siswa berusia 14 tahun ini, belum makan.

Setelah diberi makan, guru dan teman-temannya menyarankan agar lain kali Putri sarapan sebelum ke sekolah.

Baca Juga: Curhat Kelaparan ke 911, Bocah Ini Malah Dapat Hadiah Seloyang Pizza

Mendengar saran itu, air mata Putri menetes.

"Di rumah tidak ada beras…" ujarnya pelan.

Putri menghapus air matanya memakai kain jilbab yang terlihat kumuh.

Putri murid yang baik. Menurut gurunya, nilai pelajaran Putri di atas rata-rata dan rajin ke sekolah. Selama ini, Putri tidak pernah menceritakan kesulitan yang dialaminya.

Dia memilih diam dan tekun belajar. Setelah diberi makan oleh sekolah, remaja malang inipun diantar pulang.

Baca Juga: Kelaparan, Bocah 10 Tahun Nekat Kemudikan Mobil Menuju McDonalds

Media online Aceh, Modusaceh.co yang dikutip Antara, Sabtu (10/8/22019), berempati terhadap kondisi Putri.

Mahyuddin, jurnalis media tersebut, menelusuri rumah Putri di Dusun Tualang Masjid Desa Tualang, Kecamatan Peureulak, Aceh Timur.

Rumah itu sangat sederhana, berdinding triplek dan papan. Atapnya daun rumbia, dapurnya bocor dan lapuk. Putri, anak keempat dari enam bersaudara. Ayahnya Suparno, ibunya Mariani.

Ayahnya tidak mempunyai pekerjaan tetap. Untuk menafkahi anak-anak dan istrinya, Suparno terkadang ke Banda Aceh, bekerja apa saja. Menjelang Idul Adha, Suparno pulang sebentar dan nanti pergi lagi mencari nafkah.

Mengakhiri laporannya, Mahyuddin mengajak pembaca merenung, "Menjelang 74 Tahun Kemerdekaan Indonesia, kebebasan untuk sejengkal perut pun masih sangat susah diraih oleh sebagian rakyat di pelosok negeri ini."

Selesai membaca laporan jurnalistik ini, saya tercenung lama. Ironi di negara merdeka—negara yang dibentuk dengan tujuan memajukan kesejahteraan rakyat.

Putri tentu tidak sendiri. Kemiskinan telah menjadikan anak-anak—yang seharusnya tidak lagi memikirkan sesuap nasi—terpelanting ke sudut sempit.

Mereka tidak berkata-kata, bahkan tidak mengeluh. Mereka menerima seakan itulah kehidupan yang harus dijalaninya: siang makan, malam belum tentu.

Di lain sisi, perhatikan berita ini: KPK menangkap tangan sebelas orang diduga terkait suap impor bawang putih. Sebanyak Rp 2 miliar dan sejumlah uang dolar AS disita.

Menurut KPK, uang itu diduga untuk Nyoman Dharmarta, anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan.

Pekan lalu, KPK menangkap tangan lima orang usai transaksi dugaan suap proyek di Angkasa Pura (AP) ll. KPK menyita uang SGD 96.700 dari staf PT Industri Telekomunikasi Indonesia (PT Inti).

Salah satu yang ditangkap tangan tersebut adalah Direktur Keuangan AP II Andra Y Agussalam. Andra kini jadi tersangka suap.

Dua peristiwa tangkap tangan dalam waktu yang berdekatan itu, menjelaskan mereka mencuri uang rakyat, bukan karena lapar.

Gaji yang mereka terima dari negara, jauh lebih dari cukup untuk makan. Keserakahan yang menjadikan mereka lapar—seperti meminum air laut, mereka tetap dahaga.

Dalam hotel-hotel berbintang, pesta makan malam, orang-orang hanya makan sedikit agar terlihat beretiket.

Mereka membayar sangat mahal untuk gengsi—yang mereka sebut sebagai martabat. Mereka begitu mudah membuang uang, mungkin semudah mendapatkannya.

Tapi, tidak bagi rakyat. Di tengah pertumbuhan ekonomi 5 persen saat ini, gelombang pemutusan hubungan kerja mulai terjadi di berbagai perusahaan besar, maka kemiskinan seperti akan menyergap, pelan.

Kesulitan demi kesulitan akan silih berganti. Tidak semua dapat menahan lapar, seperti Putri Dewi Nilaratih. Remaja Aceh ini hanya diam, tidak mengeluh.

Dia membiarkan tubuhnya bergetar menahan lapar, wajahnya pucat, dan berkeringat. Putri tidak meminta, tidak mengambil yang bukan haknya. Dia diam menahan pilu.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI