Mahyuddin, jurnalis media tersebut, menelusuri rumah Putri di Dusun Tualang Masjid Desa Tualang, Kecamatan Peureulak, Aceh Timur.
Rumah itu sangat sederhana, berdinding triplek dan papan. Atapnya daun rumbia, dapurnya bocor dan lapuk. Putri, anak keempat dari enam bersaudara. Ayahnya Suparno, ibunya Mariani.
Ayahnya tidak mempunyai pekerjaan tetap. Untuk menafkahi anak-anak dan istrinya, Suparno terkadang ke Banda Aceh, bekerja apa saja. Menjelang Idul Adha, Suparno pulang sebentar dan nanti pergi lagi mencari nafkah.
Mengakhiri laporannya, Mahyuddin mengajak pembaca merenung, "Menjelang 74 Tahun Kemerdekaan Indonesia, kebebasan untuk sejengkal perut pun masih sangat susah diraih oleh sebagian rakyat di pelosok negeri ini."
Baca Juga: Curhat Kelaparan ke 911, Bocah Ini Malah Dapat Hadiah Seloyang Pizza
Selesai membaca laporan jurnalistik ini, saya tercenung lama. Ironi di negara merdeka—negara yang dibentuk dengan tujuan memajukan kesejahteraan rakyat.
Putri tentu tidak sendiri. Kemiskinan telah menjadikan anak-anak—yang seharusnya tidak lagi memikirkan sesuap nasi—terpelanting ke sudut sempit.
Mereka tidak berkata-kata, bahkan tidak mengeluh. Mereka menerima seakan itulah kehidupan yang harus dijalaninya: siang makan, malam belum tentu.
Di lain sisi, perhatikan berita ini: KPK menangkap tangan sebelas orang diduga terkait suap impor bawang putih. Sebanyak Rp 2 miliar dan sejumlah uang dolar AS disita.
Menurut KPK, uang itu diduga untuk Nyoman Dharmarta, anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan.
Baca Juga: Kelaparan, Bocah 10 Tahun Nekat Kemudikan Mobil Menuju McDonalds
Pekan lalu, KPK menangkap tangan lima orang usai transaksi dugaan suap proyek di Angkasa Pura (AP) ll. KPK menyita uang SGD 96.700 dari staf PT Industri Telekomunikasi Indonesia (PT Inti).