Suara.com - Idul Adha merupakan salah satu hari raya besar umat Islam. Untuk menyempurnakan Idul Adha, maka dianjurkan untuk menunaikan salat Idul Adha seperti layaknya Idul Fitri.
Pada umumnya salat Idul Adha dilakukan secara berjamaah di masjid pada pagi hari, sama seperti Idul Fitri. Namun, bagaimana hukumnya bila salat Idul Adha dilakukan secara sendiri di rumah?
Suara.com melansir dari NU.or.id, Senin (5/8/2019), dalam salat Idul Adha ada sejumlah takbir yang dibacakan selama salat. Untuk rakaat pertama membaca takbir sebanyak tujuh kali dan pada rakaat kedua membaca takbir selama lima kali.
Ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama dalam menyikapi salat Idul Adha yang dilakukan secara sendiri. Syekh Abdul Qadir Al Jailani menganjurkan orang yang luput salat Idul Adha berjamaah bisa menggantinya dengan menunaikan salat sendiri sebanyak empat rakaat.
"Bila luput seluruh rangkaian shalat Id, seseorang dianjurkan mengqadha shalat Id. Ia boleh memilih shalat empat rakaat seperti shalat Dhuha dengan beberapa takbir sunah (setelah takbiratul ihram) atau tanpa takbir sunah (setelah takbiratul ihram) seperti lazimnya shalat Dhuha. Lalu ia mengumpulkan seluruh anggota keluarga dan sahabatnya. Dengan demikian ia akan mendapatn keutamaan yang banyak," (Lihat Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Al-Guniyah, [Tanpa keterangan tempat, Darul Kutub Al-Islamiyyah: tanpa catata tahun], juz II, halaman 128).
Berbagai perbedaan pendapat tersebut kemudian diangkat oleh Ibnu Rusyd. Ia mencoba menguji analogi sejumlah ulama perihal salat Idul Adha yang menjadi landasan logis dalam menentukan kedudukan salat Idul Adha.
"Ibnul Mundzir menghikayatkan seperti pandangan Imam As-Syafi’i. Pendapat yang menyatakan salat id sendirian berjumlah empat rekaat karena menganalogikan shalat Id dengan salat Jum’at didasarkan pada analogi yang lemah.
Sedangkan ulama yang mengatakan bahwa salat Id sendirian berjumlah dua rekaat seperti yang dikerjakan imam merujuk pada prinsip bahwa qadha wajib dilakukan sesuai dengan sifat atau cara yang dilakukan secara tunai (adâ’an).
Sementara ulama yang menyatakan bahwa shalat Id tidak perlu diqadha memandang bahwa pengerjaan shalat Id disyaratkan berjamaah dan bersama imam seperti shalat Jumat sehingga bila luput maka tidak ada ceritanya mengqadha dua maupun empat rekaat. Pasalnya, shalat id bukan gantian dari shalat lain (sebagaimana Jum’at dan zhuhur).
Dua pandangan ini yang patut dipertimbangkan, yaitu pandangan Imam As-Syafi’i dan Imam Malik. Sedangkan pandangan selain keduanya lemah sekali, tidak ada maknanya. Salat Jum’at merupakan substitusi atau gantian dari salat zhuhur. Sedangkan salat Id bukan substitusi dari shalat manapun sehingga bisa dianalogikan antara keduanya (salat Id dan salat Jumat) perihal qadhanya?