Suara.com - Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menerangkan bahwa perlunya ada pihak oposisi pada pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR sebagai lembaga legislatif harus menjadi cerminan bagi seluruh komponen kelompok politik.
Refly mengatakan bahwa MPR harus berdiri tegak sebagai lembaga netral. Karena itu mesti ada penggabungan antara partai pendukung pemeritah dan juga oposisi. Sejauh ini, partai oposisi yakni Partai Gerindra juga turut melirik kursi pimpinan MPR.
"Oposisi perlu masuk, jadi MPR harus mencerminkan semua kelompok dalam politik," kata Refly di kawasan Jalan Cikini Raya, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (3/8/2019).
"Dia harus mencerminkan kelembagaan MPR. Kelembagaan MPR adalah kelembagaan permusyawaratan, karena itu ya harus mencerminkan semua kelompok semua golongan," sambungnya.
Baca Juga: Koalisi Jokowi Bentuk Paket Pimpinan MPR, Tak Ajak Koalisi Prabowo
Apabila melihat pada Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3), paket untuk pimpinan MPR yakni satu Ketua MPR didampingi dengan tujuh Wakil Ketua MPR. Paket itu kini digodok dan kemungkinan besar untuk kembali pada UU MD3 Tahun 2014 di mana Ketua MPR didampingi empat wakil ketua.
Refly menyebutkan komposisi seimbang untuk mewujudkan hal tersebut ialah perwakilan dari partai koalisi pemerintah dua, partai oposisi dua dan satu perwakilan dari DPD. Menurutnya komposisi tersebut baik untuk kelangsungan MPR.
"Katakanlah kelompok DPD 1, koalisi pendukung pemerintah 2, oposisi misalnya 2 juga. Itu justru lebih baik bagi kita. Karena MPR itu kelompok permusyawaratan, bukan day to day politic," tandasnya.