Suara.com - Ketua DPP PDI Perjuangan (PDI-P) Aria Bima menilai usulan mantan narapidana koruptor dilarang mencalonkan diri sebagai kepala daerah di Pilkada 2020 tidak mesti diatur dalam undang-undang.
Aria mengatakan hal itu semestinya sudah menjadi tanggung jawab moral partai politik untuk tidak mengusung calon yang memiliki rekam jejak sebagai napi korupsi.
Aria mengatakan, jika larangan napi korupsi mencalonkan diri sebagai kepala daerah dibuat dalam aturan perundang-undangan hal itu justru bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin hak seseorang untuk memilih dan dipilih.
"Gini loh, itu stadar moralitas bagi parpol. Kalau dinormatifkan menjadi undang-undang, itu menjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan konstitusi," kata Aria di Kantor Para Syndicate, Jakarta Selatan pada Jumat (2/8/2019).
Baca Juga: DPR : Perppu Larangan Koruptor Ikut Pilkada harus Merujuk pada UU
Berkenaan dengan itu, Aria mengklaim PDI-P memiliki komitmen untuk tidak mencalonkan napi korupsi di Pilkada 2020 tanpa perlu adanya aturan yang mengatur hal tersebut. Komitmen itu, kata Aria, sudah dibuktikan pada Pileg 2019 kemarin.
"Ya boro-boro eksekutif (Pilkada 2020), legislatif (Pileg 2019) saja enggak ada (calon napi korupsi)," ungkapnya.
Untuk diketahui, wacana pelarangan mantan napi korupsi ikut Pilkada tercetus kembali setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Bupati Kudus Muhammad Tamzil karena kasus suap jual beli jabatan.
Tamzil adalah mantan napi korupsi saat menjabat Bupati Kudus periode 2003-2008, lalu diajukan kembali dalam pilkada Kudus 2018.
Terkait hal itu, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Ilham Saputra menyatakan pihaknya akan mempertimbangkan usulan tersebut. Menurutnya, aturan larangan napi korupsi itu sendiri telah diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) 2018 pada saat Pileg 2019. Hanya, aturan tersebut tidak kuat lantaran tidak ada undang-undang yang menyatakan larangan bagi napi korupsi mencalonkan diri sebagai caleg.
Baca Juga: Demi Integritas, Kemendagri Setuju Eks Koruptor Dilarang Ikut Pilkada 2020
"Nanti kita kaji lagi. Kita undang lagi para legal, para ahli hukum. Apakah masih memungkinkan untuk KPU untuk membuat yang sama. Bagaimana kemungkinan di JR (judicial review) sama Mahkamah Agung," kata Ilham.