Suara.com - Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia Ade Armando, ditolak menjadi Guru Besar oleh kampusnya sendiri.
Penolakan itu lantaran Ade dinilai Dewan Guru Besar UI (DGI) belum memenuhi nilai integritas serta tata krama sebagai syarat menjadi guru besar.
Ade menjelaskan, setiap calon harus mendapatkan persetujuan dari seluruh Guru Besar di UI. Kemudian, nama yang terpilih bisa diajukan ke Departemen Pendidikan Tinggi untuk mendapatkan persetujuan menteri.
Nama Ade masuk dalam calon Guru Besar UI, setelah diajukan oleh Departemen Ilmu Komunikasi pada Mei 2016. Akan tetapi, Ade baru mendapatkan jawaban dirinya ditolak pada 2019.
Baca Juga: Ade Armando Kupas Gerakan Islamis-Tarbiyah di Universitas Indonesia
"Kualitas akademik saya tidak bermasalah. Tapi yang menjadi masalah bagi DGB (Dewan Guru Besar) adalah soal ‘integritas, etika dan tata krama’ saya," kata Ade dalam keterangan tertulisnya, Kamis (1/8/2019).
Ade mengetahui hal tersebut berdasarkan hasil rapat DGB pada 20 Mei 2019, dan penjelasan Ketua Komite Etik Profesor Adrianus Meliala, pada rapat di FISIP UI 31 Juli, pukul 16.00 WIB.
Mengetahui alasan itu, Ade tidak menerima. Apalagi saat Profesor Adrianus Meliala menyatakan Komite Etik tidak dapat menerima Ade sebagai guru besar karena tulisan Ade di media sosial yang sering menimbulkan kontroversi.
"Menurut Adrianus, Komite Etik menilai saya baru bisa diterima di DGB kalau saya bisa mengubah cara berkomunikasi saya, dan seluruh (delapan) kasus saya di kepolisian itu sudah selesai sampai tuntas," ujarnya.
Ade sempat tergelitik, lantaran DGB tidak bisa menunjukkan bukti tulisan-tulisan Ade di media sosial yang mendukung alasan tidak berintegritas dan tidak etis.
Baca Juga: Ade Armando: Mereka Berharap Kekacauan Terjadi, Terus Umat Islam Bergerak
Karena itu, Ade justru memperkirakan penolakan terhadap dirinya itu didasari oleh gerakan Islamis Tarbiyah yang makin menguat di UI, khususnya di jajaran Guru Besar UI.