Suara.com - Komisi Pemilihan Umum atau KPU akan mengkaji usulan mantan narapidana korupsi tidak boleh ikut pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020. Jika KPU setuju, maka akan dimasukkan ke aturan KPU.
Komisioner KPU Ilham Saputra menjelaskan pihaknya menyerap aspirasi masyarakat.
"Banyak yang mengatakan kenapa KPU tidak membuat aturan sendiri. Dulu kan gitu di 2019," ungkap Ilham ketika ditemui di kantor KPU RI di Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (1/8/2019).
Sebelumnya KPU sudah memiliki pengalaman bagaimana karena aturan itu tidak didukung oleh undang-undang, banyak mantan narapidana korupsi yang bisa mengikuti pemilihan legislatif.
Baca Juga: Ini Landasan Hukum KPU Wacanakan Sistem E-Rekap di Pilkada 2020
"Pengalaman dari 2019 lalu, dengan PKPU 2018, karena tidak ada di undang-undang yang menegaskan bahwa tidak ada pasal yang menyebutkan napi koruptor dilarang menajdi caleg DPR, maka menjadi tidak kuat kan," ujarnya.
Akibatnya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) meloloskan permintaan pemohon yang keberatan dengan PKPU tersebut.
Oleh karena itu, menurut Ilham, KPU akan mengkaji lagi wacana memasukkan aturan tersebut dengan berbagai kemungkinan implikasinya di masa depan.
"Nanti kita kaji lagi. Kita undang lagi para legal, para ahli hukum. Apakah masih memungkinkan untuk KPU untuk membuat yang sama. Bagaimana kemungkinan di JR (judicial review) sama Mahkamah Agung," ungkapnya.
Wacana pelarangan esk koruptor ikut pilkada tercetus kembali setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Bupati Kudus Muhammad Tamzil karena kasus suap jual beli jabatan.
Baca Juga: KPU Jamin Teknologi Indonesia Siap Jalani Sistem e-Rekap di Pilkada 2020
Tamzil adalah mantan napi korupsi saat menjabat Bupati Kudus periode 2003-2008, lalu diajukan kembali dalam pilkada Kudus 2018. (Antara)