Suara.com - Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat, meringkus seorang pria berinisal ECP (30), yang berprofesi sebagai guru bimbingan belajar (bimbel) karena diduga melakukan kekerasan seksual atau pencabulan terhadap tujuh orang anak.
Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda NTB Kombes Kristiadjie mengatakan, kasus kekerasan seksual ini terungkap dari adanya laporan salah satu orang tua korban.
"Berangkat dari laporan, tim kemudian melakukan penyelidikan dan diduga kuat pelakunya mengarah kepada seorang pria yang berprofesi sebagai guru bimbel, berinisial ECP," kata Kristiadjie saat dilansir Antara, Mataram, Senin (29/7/2019).
Pelaku asal Cianjur, Jawa Barat, jelasnya, ditangkap Tim Subdit IV Bidang Remaja, Anak, Wanita (Renakta) Ditreskrimum Polda NTB usai mengajar di salah satu bimbel yang ada di Kota Mataram, sehari setelah laporannya masuk, Jumat (26/7).
Baca Juga: Diancam Nilai Jelek, Guru Bimbel di Tangerang Tega Cabuli Anak Didiknya
"Jadi usai mengajar, pelaku langsung diamankan tim," ujarnya.
Dari penangkapannya, polisi mengamankan sejumlah barang bukti yang menguatkan bahwa ECP sebagai pelaku kekerasan seksual terhadap anak-anak bawah umur.
Barang bukti tersebut antara lain, sarung, minyak zaitun, body lotion dan telepon seluler yang kerap digunakan pelaku dalam melancarkan modus mempengaruhi korban.
"Dari HP pelaku ditemukan film porno. Film itu yang diberikan ke anak-anak," ucapnya.
Pelaku mempengaruhi korban dengan memberikan upah kepada anak-anak. Kisaran yang diberikan berbeda-beda, mulai dari Rp 20 ribu sampai Rp 100 ribu.
Baca Juga: Cabuli Murid, Eddy Dipecat Sebagai Guru Bimbel
"Jadi aksinya ini sudah dilancarkan dalam periode setahun. Dalam jangka waktu itu, satu anak ada yang sudah dicabulinya dua sampai tiga kali," kata Kristiadjie.
Lebih lanjut, pelaku yang kini telah mendekam di balik jeruji besi Rutan Polda NTB ditetapkan sebagai tersangka.
Dalam sangkaannya, pelaku dijerat dengan Pasal 82 Ayat (1) dan (2) Juncto Pasal 76 E Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak.
"Sesuai aturan perundang-undangannya, pelaku terancam pidana paling singkat lima tahun penjara dan denda Rp 5 miliar," ujarnya.