Melalui laporan itu, China juga berdalih bahwa sikap represifnya di Xinjiang merupakan upaya "anti-terorisme" melawan separatis Uighur dan ekstremis Islam.
Meski begitu, Direktur Human Rights Watch Australia Elaine Pearson tak percaya dengan laporan tersebut.
"Saya rasa siapa pun di luar China yang mengikuti kabar di Xinjiang tak akan bisa dibodohi oleh buku putih ini," katanya kepada ABC.
"Ini adalah distorsi fakta yang aneh dan mencolok," imbuhnya.
Baca Juga: Fadli Zon Usulkan Isu Uighur di Parlemen OKI
Pakar Uighur dan etnis minoritas Cina lainnya dari Universitas La Trobe, James Leibold, juga berpendapat, buku putih itu adalah "perkara klasik terkait perang informasi yang sedang berlangsung di China."
"Seperti propaganda mana pun, itu dipenuhi dengan kalim kebenaran yang tak utuh," katanya.
Sementara itu, surat kabar berbahasa Inggris yang dikelola pemerintah China, Global Times, memuji laporan itu dan mengklaim bahwa dengan surat kabar itu, "orang yang baik hati dapat membedakan antara yang benar dan yang salah."
"Diharapkan penghasut yang jahat akan menutup mulutnya," ungkap Global Times.
Mayoritas warga Uighur adalah kaum Muslim beretnis Turki. Biasanya warga Uighur tinggal di China bagian barat, atau di Provinsi Xinjiang.
Baca Juga: Melihat Kamp Pendidikan Vokasi Etnis Uighur
Sejarah menyebutkan bahwa Uighur tinggal di Uighuristan, yang kemudian diklaim China sebagai warisan sejarahnya.