Senjakala Mainan Kayu di Era Maju

Bangun Santoso Suara.Com
Selasa, 23 Juli 2019 | 09:54 WIB
Senjakala Mainan Kayu di Era Maju
Perajin menyusun alat permainan edukatif berbahan dasar kayu, di Sanggar Anakita Toyz, Kampung Depok, Tasikmalaya, Jawa Barat, Selasa (18/6/2019). (Antara)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Di samping riuhnya jalanan kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, sebuah kios kecil terbuat dari kayu lapuk yang dipenuhi oleh jajaran mainan anak berwarna-warni berdiri di bawah pepohonan lebat.

Memasuki kios yang sudah berdiri sejak 1997, pengunjung seperti dibawa kembali ke masa anak-anak dengan berbagai jenis mainan kayu, seperti mobil-mobilan, kincir angin, dan kuda-kudaan yang berjajar rapi.

Kerajinan mainan kayu tersebut merupakan hasil karya tangan pria tua bernama Marsa’ad, atau yang akrab disapa Umar. Semua bermula ketika kakek kelahiran 1942 itu diberhentikan dari tempatnya bekerja karena mengalami kebangkrutan.

Berusaha memutar otak demi menyambung hidup keluarganya dengan uang pesangon yang sangat kecil, akhirnya pada tahun 1997 dia berinisiatif membeli tripleks sisa untuk dijadikan mainan kincir angin.

Baca Juga: 350 Perusahaan Mainan Anak Bakal Gelar Pameran di JIExpo Kemayoran

“Pada saat itu mainan kincir angin sedang sangat digemari anak-anak jadi saya buat itu. Akan tetapi, penampilannya sangat sederhana karena memang modal hanya bisa untuk beli tripleks yang cuma bisa jadi sekitar lima kincir angin,” katanya.

Teman-teman Umar adalah orang-orang pertama yang dia tawari. Tak disangka, kincir angin sederhana miliknya justru membuat mereka tertarik hingga kerajinannya mulai tersebar luas ke tengah masyarakat sekitar dari mulut ke mulut.

Setelah mendapat respons positif dari masyarakat, dia pun tersadar akan satu hal, yaitu banyak anak yang membawa mainannya dengan wajah bahagia. Hal itulah yang menjadi motivasi utama Umar untuk membuat berbagai inovasi pada mainan kayunya.

“Melihat anak kecil lari sambil tertawa membawa kincir angin itu, saya jadi ikut senang karena saya sendiri tidak ingin melihat anak saya sedih,” ujarnya.

Berkat keuletan, kegigihan, dan semua keterbatasan yang dimiliki Umar pada saat itu, akhirnya dia bisa membuat mainan kayu yang lain, seperti mobil-mobilan berjenis bajaj, bus, truk, mikrolet, dan kuda-kudaan.

Baca Juga: Hindari Risiko Bahaya, Pastikan Mainan Anak Miliki Logo SNI

Usaha yang diberi nama UD Senang Anak ini sempat memiliki 200 pengrajin karena hasil karya Umar makin berkembang hingga pembeli tidak hanya berasal dari warga Jakarta dan sekitarnya, tetapi juga dari seluruh pelosok Indonesia serta mancanegara, seperti Belanda, Jerman, Australia, dan Jepang.

Pada zamannya, UD Senang Anak pernah menjadi distributor mainan kayu dengan memproduksi 37 tipe mobil-mobilan yang dipasok untuk gerai mainan kayu hampir di seluruh Indonesia, mulai dari ujung barat hingga ke pelosok timur.

Terjangan Mainan Impor

Direktur Usaha Kecil Menengah Pangan, Produk Kayu dan Furnitur Kementerian Perindustrian Sri Yunianti (kedua kiri) didampingi Ketua Umum Asosiasi Mainan Indonesia Lukas Sutjiadi (kanan), meninjau stan saat membuka Pameran 3 in 1 Industri Mainan, Taman Hiburan dan Peralatan & Dekorasi Rumah, di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Kamis (18/7/2019). (Antara)
Direktur Usaha Kecil Menengah Pangan, Produk Kayu dan Furnitur Kementerian Perindustrian Sri Yunianti (kedua kiri) didampingi Ketua Umum Asosiasi Mainan Indonesia Lukas Sutjiadi (kanan), meninjau stan saat membuka Pameran 3 in 1 Industri Mainan, Taman Hiburan dan Peralatan & Dekorasi Rumah, di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Kamis (18/7/2019). (Antara)

Lain 1997 lain 2019, zaman yang dahulu serba manual kini pun serba otomatis dan canggih. Hal itu juga berlaku pada mainan anak karena sekarang mainan impor yang terbuat dari plastik sedang merajalela.

Seperti yang terjadi di Pasar Gembrong, Jatinegara, Jakarta Timur terlihat deretan kios menjual mainan plastik impor. Tidak hanya anak-anak kecil yang ditemani oleh orang tuanya, ternyata juga ada para remaja yang tak mau ketinggalan membeli mainan itu.

Mayoritas pedagang di pasar tersebut mengaku bahwa banyaknya peminat mainan impor membuat mereka lebih memilih untuk tidak menjual mainan lokal.

“Ya, karena lebih banyak yang minat barang impor, saya jadi dagang mainan ini,” kata Heru, pedagang di Pasar Gembrong, Senin.

Hal yang sama disampaikan oleh Sri yang juga pedagang mainan di pasar tersebut. Dia mengatakan bahwa harga jual mainan plastik impor jauh lebih murah jika dibandingkan dengan produk lokal.

“Saya juga jual mainan lokal tetapi ternyata pembeli lebih minat yang impor karena lebih murah. Padahal, yang lokal lebih awet,” katanya.

Pedagang lain, Adi, turut berpendapat bahwa sebenarnya kualitas mainan lokal jauh lebih bagus daripada mainan impor. Namun, itu tidak cukup membuat masyarakat tertarik untuk membelinya.

“Pembeli lebih memilih yang menarik. Kalau mainan plastik, 'kan lebih mencolok,” katanya.

Berbagai pendapat dari beberapa pedagang tersebut disetujui oleh pembeli mainan impor di Pasar Gembrong. Pertimbangan seperti harga mainan impor yang jauh lebih murah hingga model dan jenis yang lebih modern membuat mereka mengesampingkan mainan lokal.

“Banyak jenisnya, ya, terus modelnya juga lebih modern jadi anak senang,” kata Desi, pembeli mainan impor.

Di Pasar Gembrong, berbagai mainan impor tersebut dijual dengan harga mulai Rp5.000,00 hingga Rp800 ribu. Namun, untuk skala harga Rp250 ribu, para pembeli sudah bisa mendapat mainan berjenis mobil remot hingga drone.

Tentu saja hal itu berbeda dengan di kios mainan kayu milik Umar, seperti bus dan tronton dibanderol dengan harga Rp300 ribu, angkot Rp200 ribu, bus Tayo Rp95 ribu, dan yang paling murah adalah bajaj seharga Rp50 ribu.

“Bahan baku, seperti kayu, cat, dan paku, sekarang harganya sangat mahal,” ujar Umar.

Terjangan mainan impor itu membuat UD Senang Anak yang dahulu memproduksi hingga 37 tipe mobil-mobilan, kini berkurang separuh menjadi 18 tipe saja. Bahkan, dari 200 pekerja pembuat mainan kayu sekarang hanya tinggal dirinya beserta anak dan cucunya.

“Sempat masih ada 40 orang yang bekerja membuat mainan kayu di sini, sekarang sudah tidak ada. Ya, paling cuma saya sama anak dan menantu saya saja, itu pun mereka membantu di kios, bukan bagian produksi mainan,” katanya.

Pelanggan Setia

Perajin menyusun alat permainan edukatif berbahan dasar kayu, di Sanggar Anakita Toyz, Kampung Depok, Tasikmalaya, Jawa Barat, Selasa (18/6/2019). (Antara)
Perajin menyusun alat permainan edukatif berbahan dasar kayu, di Sanggar Anakita Toyz, Kampung Depok, Tasikmalaya, Jawa Barat, Selasa (18/6/2019). (Antara)

Di balik banyaknya warga yang memilih mainan impor, ternyata karya Umar masih mendapat tempat di hati pembeli yang setia dengan produk lokal. Menurut dia, masyarakat yang tetap memilih mainan kayu adalah mereka yang mengetahui makna sesungguhnya di balik mainan tersebut.

Sebuah mainan yang tidak hanya menemani anak-anak ketika bermain, tetapi juga mampu memberikan edukasi kepada mereka tentang keselarasan antara mainan dan sang pembuat.

“Saya menyadari jika mainan plastik sedang sangat banyak di pasaran, apalagi harganya jauh lebih murah. Satu yang saya yakin, di antara jutaan pasang orang tua di dunia ini, pasti Tuhan menyisakan ratusan ribu orang tua yang sadar tentang makna sebuah mainan itu sendiri,” ujar Umar.

Ternyata makna itu benar dirasakan oleh beberapa pembeli, seperti Wawan Dagul yang merupakan pembeli mainan kayu di kios Umar.

“Sepadanlah antara harga dan produknya. Meskipun lebih mahal tetapi bagus, kualitasnya jelas di atas mainan plastik. Apalagi, pembuatannya yang lama dan benar-benar hasil karya tangan orang bukan mesin. Itu yang jadi ciri khas mainan kayu,” kata Wawan.

Senada dengan Wawan, Khoirul mengatakan bahwa karya buatan Umar mampu membawa generasi muda untuk belajar menghargai jerih payah seseorang.

“Melalui mainan kayu ini anak-anak muda tidak hanya tahu kalau ini mainan, tetapi mereka juga jadi belajar tentang menghargai jerih payah orang lain. Jerih payah pengrajin untuk membuat mainan ini contohnya,” kata Khoirul yang sedang membelikan mainan untuk cucunya.

Ratna yang datang untuk membeli mainan kayu bersama anaknya juga berpendapat bahwa seharusnya para orang tua harus bisa menanamkan tentang mencintai dan menghargai produk lokal kepada generasi muda.

“Harusnya kalau ingin Indonesia maju, ya, hargai produk lokal seperti mainan kayu punya Pak Umar ini, biar enggak punah,” katanya.

Harapan

Tidak mudah untuk mempertahankan karya klasik di tengah gempuran mainan anak yang serbacanggih dan modern. Umar melakukan berbagai upaya agar mampu bersaing dengan mainan impor itu, seperti memodifikasi mainan kayu dengan mengikuti perkembangan zaman.

“Ya, paling saya buat dengan desain lebih detail dan memilih warna yang menarik biar anak suka,” ujarnya.

Saat ini, kios Umar merupakan satu-satunya distributor mainan kayu yang masih bertahan di tengah serbuan jutaan mainan plastik impor di Jakarta.

“Kalau di Jakarta tinggal punya saya saja, pedagang lain biasanya ambil dari saya. Ada lagi di Karawang tetapi mereka hanya membuat kerangka mobilnya saja, cat dan penambahan detail pun masih di sini,” katanya.

Di sisi lain, Umar yang kini sudah tidak muda lagi mengaku terkadang tidak kuat untuk memproduksi mainan kayu sendiri. Hal itu makin membuatnya khawatir akan kelestarian mainan kayu itu.

“Sempat miris ketika dahulu mainan yang dibawa anak kecil ya mainan karya-karya langsung dari tangan, sekarang mainan mereka serba praktis, bahkan tidak mendidik,” katanya.

Namun, semangat Umar belum memudar, bahkan dia masih memiliki mimpi yang luar biasa besar. Umar ingin mendirikan lagi sebuah pabrik mainan kayu sederhana agar tetap bisa melihat anak-anak berlarian membawa hasil karya miliknya.

“Jika saya diberi rezeki berlebih, atau yang paling utama diberi Gusti Allah umur yang panjang, saya ingin mendirikan pabrik sederhana pembuatan mainan dari kayu. Saya ingin ketika saya berhenti kelak, saya masih bisa melihat dari jauh anak-anak yang berlarian tertawa sambil membawa mainan kayunya,” kata Umar. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI