Cyber simbolic violence penting untuk diwaspadai mengingat dampaknya dua kali lipat dibanding kekerasan simbolik di dunia nyata atau di media arus utama yang tidak melibatkan internet.
Pasalnya, dalam dunia media sosial, ketika suatu konten sudah diunggah, tidak akan hilang walau sudah dihapus. Video ikan asin hingga kini masih bisa disaksikan walaupun Pablo Benua dan Rey Utami sudah menghapus konten tersebut dari akun resmi miliknya.
Komodifikasi Konten
Menurut Anna, maraknya ‘konten sampah’ di kanal YouTube tak lain disebabkan oleh komodifikasi konten vlog (video blog). Komodifikasi artinya mereduksi nilai suatu produk sebagai barang ekonomi semata.
Baca Juga: Viral Pelecehan Perempuan Berjilbab di SPBU Malaysia
Istilah komodifikasi dicetuskan oleh Vincent Mosco, profesor bidang Ilmu Komunikasi asal Kanada.
Menurut Mosco, the commodification of content atau komodifikasi isi merupakan proses perubahan dari kumpulan informasi ke dalam sistem makna dalam wujud produk yang dapat dipasarkan.
“Konten vlog ikan asin direduksi oleh kreatornya hanya sebagai produk yang bisa dipasarkan. Selama vlog semacam itu dinilai banyak menarik pemasang iklan, akan terus direproduksi,” kata Anna.
Ia mengakui, banyak YouTuber yang memonetisasi konten video yang diunggah. Dengan demikian, YouTuber mengizinkan YouTube/Google untuk menempatkan iklan di dalam video tersebut.
Sebagai timbal baliknya, vlogger akan mendapatkan bagi hasil dari iklan yang terpasang dengan pembagian 45 persen untuk YouTube dan 55 persen untuk YouTuber.
Baca Juga: Aplikasi Antipelecehan Perempuan Dirilis di Pakistan
YouTube dan YouTuber mendapat uang setiap ada yang melihat iklan-iklan ketika menyaksikan vlog.