Suara.com - Perempuan adalah tuan untuk tubuh dan pikirannya sendiri, begitulah intisari dari budaya emansipasi pada era modern. Namun, pada zaman serba digital, budaya patriarkis justru kian berbiak.
IKAN ASIN, untuk beberapa pekan ke belakang, menjadi diksi yang mengalami pergeseran makna asosiatif dan cenderung peyoratif alias buruk.
Tak lagi merujuk pada penganan hasil pengolahan ikan, tapi menjadi terma untuk merujuk pada bau pada organ intim perempuan guna menghina mereka.
Pergeseran makna istilah tersebut berawal dari cacian lelaki pesohor Galih Ginanjar yang menyebut organ intim mantan istrinya, FAR, berbau ikan asin.
Baca Juga: Viral Pelecehan Perempuan Berjilbab di SPBU Malaysia
Belakangan, Galih mengakui mengucapkan istilah tersebut untuk menghina FAR. Kekinian, Galih beserta kedua rekannya, Pablo Benua dan Rey Utami, dijadikan tersangka serta ditahan.
Media-media massa, terutama online juga dikecam banyak pihak.
Sebab, awak entertainment yang bekerja untuk media-media jurnalistik tersebut, turut menggunakan diksi tersebut dalam banyak artikel sehingga melanggengkan penghinaan terhadap FAR, juga kaum perempuan.
Kekerasan Simbolik terhadap Perempuan
Anna Puji Lestari, dosen Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, mengkritik penggunaan diksi tersebut. Ia menilai, istilah ‘ikan asin’ dalam kasus itu adalah wujud kekerasan simbolik terhadap perempuan.
Baca Juga: Aplikasi Antipelecehan Perempuan Dirilis di Pakistan
“Sebelumnya, istilah tersebut sering digunakan untuk menyalahkan korban kekerasan seksual, yakni sebagai ikan asin yang sengaja memancing ‘kucing’ atau laki-laki untuk memerkosa. Dengan kata lain, ikan asin merupakan terminologi politis yang mencederai seksualitas perempuan,” tuturnya.