Suara.com - Korban pelecehan seksual Baiq Nuril Maknun telah menyerahkan surat permohonan untuk pemberian amnesti kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Surat untuk Jokowi itu diserahkan Baiq Nuril melalui Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Senin (15/7/2019).
Selain menyerahkan surat permohonan amnesti, Nuril dan Tim advokasi juga menyerahkan surat dukungan pemberian amnesti dan petisi kepada Jokowi terkait amnesti.
Kedatangan Baiq Nuril didampingi Tim Advokasi dan anggota DPR dari fraksi PDI Perjuangan Rieke Diah Pitaloka.
Setelah itu, Baiq Nuril membacakan surat pribadi. Surat itu ditujukan untuk Presiden Jokowi.
Baca Juga: LPSK Kecewa Jokowi Kasih Grasi ke Guru JIS yang Sodomi Anak
Melalui surat pribadinya, Nuril mengawali dengan perkenalan dan menceritakan kasus yang dialaminya hingga dirinya menjadi terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Berikut isi lengkap surat Pribadi Nuril kepada Jokowi.
Yth. Presiden Republik Indonesia
Bapak Ir. H. Joko Widodo
Di
Istana Kepresidenan
Jalan Veteran No. 16-18
Jakarta
Assalamu’alaikum, Wr, Wb.
Bapak Presiden, ijinkan saya pertama-tama memperkenalkan diri. Nama saya Baiq Nuril Maknun. Saya rakyat Indonesia, hanya lulusan SMA. Sebelum di PHK karena kasus yang saya hadapi, saya bekerja sebagai honorer di satu Sekolah Menengah Atas di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Saya juga ibu dari tiga orang anak. Suami saya awalnya bekerja di Gili Trawangan, yang berjarak 50 kilo meter dari tempat kami tinggal. Saat saya menjalani proses persidangan dan harus ditahan selama dua bulan tiga hari, suami saya harus merawat anak-anak kami, dan akhirnya mengalami nasib yang sama, kehilangan pekerjaan.
Baca Juga: Prabowo Buka Suara Dituduh Buat Deal dengan Jokowi, dalam Waktu Dekat
Yang mulia Bapak Presiden, kasus yang menimpa saya terjadi mulai dari tahun 2013. “Teror” yang dilakukan oleh atasan saya terjadi berulang kali, bukan hanya melalui pembicaraan telpon, tapi juga saat perjumpaan langsung. Saya dipanggil ke ruang kerjanya. Tentunya saya tidak perlu menceritakan secara detil kepada Bapak, apa yang atasan saya katakan atau perlihatkan kepada saya. Sampai pada suatu hari saya sudah tidak tahan, saya merekam apa yang atasan saya katakan melalui telpon. Saya tidak ada niat sama sekali untuk menyebarkannya. Saya hanya rakyat kecil, yang hanya berupaya mempertahankan pekerjaan saya, agar saya dapat membantu suami menghidupi anak-anak kami. Dalam pikiran saya saat merekam, jika kemudian atasan saya benar-benar “memaksa” saya untuk melakukan hasrat bejatnya, dengan terpaksa, akan saya katakan padanya saya merekam apa yang dia katakan.