Suara.com - Pascapertarungan di gelanggang Pilpres 2019, persamuhan bersejarah antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto terjadi.
Keduanya bertemu di Stasiun MRT Lebak Bulus dan kemudian menaiki Mass Rapid Transit atau Moda Raya Transportasi (MRT), Sabtu (13/7/2019).
Konsultan politik dan media, Hersubeno Arief memunyai pandangan tersendiri atas persamuhan keduanya.
Baca Juga: Mahfud MD: Jokowi dan Prabowo Bersua, Wajar Gerindra Masuk Koalisi
Dia menilai, persamuhan ini merujuk pada lukisan Penangkapan Diponegoro karya pelukis Raden Saleh.
Hersubeno, dalam unggahan status di akun Facebooknya melihat kesediaan Prabowo untuk bertemu Jokowi seperti Pangeran Diponegoro yang bersedia bersamuh dengan penjajah Belanda saat itu.
"Netizen menilai kesediaan Prabowo bertemu dengan Jokowi sama dengan peristiwa ketika Pangeran Diponegoro bersedia bertemu penjajah Belanda," tulis Hersubeno di akun Facebooknya.
Pangeran Diponegoro yang kala itu dijanjikan pertemuan dengan Belanda sebagai ajang silaturahmi.
Namun, ia malah ditangkap sehingga pecah Perang Jawa yang berlansung pada tahun 1825 hingga 1830.
Baca Juga: Lelucon Sandiaga soal Pertemuan Perdana Jokowi - Prabowo
Perang tersebut, kata Hersubeno, banyak menguras sumber daya milik Belanda. Pasukan Belanda banyak yang gugur dan kas milik Veereenigde Oostindische Compagnie (VOC) -kongsi dagang Belanda- habis terkuras.
Hersubeno melihat adanya kemiripan ihwal latar dan peristiwa antara persamuhan Jokowi dan Prabowo dengan penangkapan Diponegoro.
Penangkapan Pangeran Diponegoro terjadi saat umat Islam merayakan hari raya Idul Fitri, tanggal 2 Syawal 1245 Hijriah atau 2 Maret 1830.
Sementara Prabowo bertemu pada tanggal 10 Dzulkaidah 1440 Hijriah, lebih kurang 40 hari setelah 1 Syawal 1440 Hijriah.
"Sebuah perang yang menguras sumber daya Belanda. Banyak nyawa pasukan Belanda melayang dan kas VOC terkuras habis. Entah secara kebetulan setting peristiwanya kok mirip-mirip," sambungnya.
"Sepanjang Indonesia mengadopsi sistem pemilihan langsung, inilah pertarungan terkeras yang pernah terjadi. Sebagai inkumben Jokowi mengerahkan semua sumber daya untuk mengalahkan Prabowo," tambah Hersubeno.
Sebaliknya, Hersubeno melihat kesediaan Prabowo bersamuh dari sudut pandang Jokowi sebagai simbol kemenangan politik. Semacam kepatuhan lawan politik terhadap Jokowi.
Sebab, persamuhan yang berlangsung di stasiun MRT dapat dimaknai sebagai tolak ukur keberhasilan Jokowi di bidang infrastruktur.
"Dari sisi Jokowi, kesediaan Prabowo untuk bertemu merupakan simbol kemenangan politik. Penyerahan diri dan simbol kepatuhan lawan politiknya. Kendati petemuan dilakukan di tempat netral, stasiun MRT, harus dilihat bahwa proyek itu adalah simbol keberhasilan dan kebanggaan Jokowi di bidang infrastruktur," papar Hersubeno.
Kesamaan nasib antara Prabowo dan Pangeran Diponegoro ditampik Hersubeno. Mantan Danjen Koppasus tersebut memilih berpisah dengan pendukungnya yang mati-matian menolak rekonsiliasi.
"Berbeda dengan Pangeran Diponegoro, justru Prabowo tampaknya yang memilih untuk berpisah dengan para pendukung militannya. Para pendukung militan Prabowo kini dihadapkan pada pilihan sulit. Tidak ada pilihan lain mereka harus juga melepas Prabowo. Tanda-tanda bahwa Prabowo ditinggalkan para pendukungnya sudah bergema di medsos,"'ungkapnya.
"Bermacam meme bermunculan. Ada yang mengucapkan 'Selamat Tinggal Jenderal.' 'Selamat berpisah Pak Prabowo', 'Adios Amigos,' ada yang yang membuat meme 'Sayonara Prabowo.' Seorang emak-emak bahkan membuat status meniru gaya milenial 'Pak Prabowo, you and me, end!” tukas Hersubeno.