Suara.com - Sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) kembali memakan korban. Salah satunya Muhammad Pasha Pratama (12), warga Bulu RT5/RW14 Desa Bejiharjo, Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Bocah lulusan SD dari kalangan keluarga miskin ini terancam putus sekolah, karena terpental dari SMP Negeri 2 Karangmojo akibat peraturan zonasi PPDB.
Sementara untuk menjadi siswa SMP swasta atau di daerah lain, nenek dan kakek yang merawat Pasha sejak kecil tak memunyai biaya.
Padahal, Pasha sudah mantab ingin melanjutkan sekolah di SMP. Ia bahkan sudah membeli sejumlah peralatan sekolah semisal buku tulis, pena, dan juga tas baru.
Baca Juga: Keruwetan Sistem Zonasi, KPAI Dorong Pemerintah Bangun Sekolah Negeri Baru
Semua itu dibeli Pasha setelah sang nenek menjual kambing kesayangannya. Ia juga mengumpulkan uang dengan cara menjadi pesuruh para tetangga.
Ketika hendak mendaftar SMP, rumah nenek Pasha tak terdeteksi secara jelas oleh GPS. Akhirnya, ia harus mendaftar di sekolah yang jauh dari rumah.
Alhasil, Pasha memutuskan mendaftar di SMPN 2 Karangmojo yang berjarak 2 kilometer dari rumah. Itu adalah SMP yang terbilang dekat dengan rumah sehingga tak perlu biaya transportasi.
"Aku maunya di SMP 2 Karangmojo, karena sekolah swasta yang paling dekat jaraknya 5 Km. Kalo di SMP 2 Karangmojo, aku bisa nebeng motor dengan teman,” tuturnya sedih sembari menundukkan kepala.
Pasha sejak kecil diasuh oleh neneknya karena sang bunda meninggal ketika dia duduk di bangku kelas 3 SD. Sementara ayahnya, menderita gangguan kejiwaan.
Baca Juga: Banyak Terima Aduan soal Zonasi PPDB, KPAI Minta Segera Dibuat Perpres
"Kalau dia libur sekolah, sering dimintakan tolong tetangga dan dikasih upah. Uang upah itu yang ditabung dia buat beli sepatu, tas serta buku,” kata Rebi (65), nenek Pasha.
Rebi menuturkan, sehari-hari dia bekerja sebagai petani, sehingga kalau Pasha harus sekolah di swasta atau tempat yang jauh, dirinya tak mampu.
“Tapi aku mau cucu saya tetap bersekolah seperti anak-anak lain,” tukasnya.
Sementara Sarwanto, tetangga Pasha, mengakui heran bocah itu tak diterima SMP 2 Karangmojo. Sebab, ia mengetahui nilai-nilai pelajaran Pasha saat lulus SD terbilang tinggi.
"Total nilainya 15, lumayan bagus. Ada teman-temannya yang nilai dibawahnya tapi diterima di SMP 2 Karangmojo. Ada yang nilai 13 atau 10 dan rumahnya lebih jauh dari Pasha,” kata Sarwanto.
Ombudsman Republik Indonesia (ORI) DIY turun tangan terkait nasib Pasha. ORI bahkan terjun langsung menjenguk Pasha di rumahnya.
Kepala ORI DIY Budhi Masturi mengungkapkan, selepas adanya kabar tersebut, pihaknya lantas menerjunkan tim untuk melakukan verifikasi ke lapangan.
ORI sendiri, tambah Budhi, menginginkan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Gunungkidul mempertimbangkan kembali, serta melakukan sejumlah pengecekan pada sistem yang digunakan.
“Tim sudah ke lapangan dan ke Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga untuk klarifikasi kasus ini,” kata Budhi, Jumat (12/7/2019).
Menurut Budhi, masalah yang dialami Pasha ini tidak boleh dibiarkan lantaran akan berdampak besar terhadap masa depan anak tersebut.
Beberapa hal yang nanti ditinjau kembali adalah, parameter prioritas dalam PPDB sendiri adalah zona dan waktu saat pendaftaran.
Menurut penuturan Budhi, kuota di SMP Negeri 2 Karangmojo adalah 184 kursi. Namun, pada laman daring PPDB, sekolah itu tertulis hanya mampu menampung 183 siswa baru.
Sedangkan Pasha sendiri mendaftar dan mendapat urutan 184, sehingga ia tak diterima oleh SMP tersebut.
“Sudah kami sampaikan ke dinas pendidikan dan akan dibahas,” paparnya.
Kontributor : Rahmad Ali