Suara.com - Juru Bicara Mahkamah Agung RI, Andi Samsan Nganro menegaskan tidak ada maladministrasi terkait putusan MA yang menolak permohonan peninjauan kembali atau PK yang diajukan Baiq Nuril.
Andi menilai dugaan Ombudsman yang menyebut ada potensi MA melakukan maladministrasi itu tidak mendasar.
Ombudsman menyebut MA berpotensi melakukan maladministrasi lantaran telah mengabaikan produk hukum sendiri yakni Peraturan MA (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan dalam mengadili kasus Baiq Nuril. Andi menilai dugaan yang disangkakan oleh Ombudsman tersebut tidak mendasar.
"Perlu juga dijelaskan mengenai adanya sinyalemen dari Ombudsman. Sebagai pemahaman, MA ini tentu dikatakan disinyalir bahwa ada maladministrasi. Selaku jubir MA saya menyatakan bahwa itu tidak relevan dan tidak berdasar, kalau dikatakan seperti itu," ujar Andi saat jumpa pers di Kantor Mahkamah Agung RI, Jalan Medan Merdeka Utara, Gambir, Jakarta Pusat, Senin (8/7/2019).
Baca Juga: MA Saran Jokowi Jangan Langsung Kasih Amnesti untuk Baiq Nuril
Terkait hal itu, Andi menjelaskan bahwa perempuan yang dimaksud dalam Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan ialah perempuan yang berkonflik dengan hukum, perempuan sebagai korban, dan perempuan sebagai saksi.
Sedangkan, menurut Andi, dalam kasus yang dihadapi Baiq Nuril yang bersangkutan merupakan sebagai terdakwa.
"Nah, di dalam perkara yang kita sebutkan tadi ini berproses ini yang sampai PK ditolak itu, terdakwa di sini perempuan sebagai terdakwa bukan sebagai korban," katanya.
"Kalau sebagai, dia sebagai korban, ya tentu ada jalur hukumnya. Ya bisa juga melaporkan kepada penyidik untuk perkara tersendiri sebagai korban," imbuhnya.
Sebelumnya, anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu menilai Mahkamah Agung mengabaikan produk hukumnya sendiri --Peraturan MA No 3/2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan-- dalam mengadili kasus Baiq.
Baca Juga: Ketua DPR: Tak Ada Salahnya Jokowi Pertimbangkan Amnesti untuk Baiq Nuril
Padahal, pertimbangan ditetapkannya Perma no 3 tersebut karena ingin memberikan perlindungan terhadap warga negara dari segala tindakan diskriminasi yang merupakan implementasi dari hak konstitusional sebagaimana tertuang dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ninik menilai seharusnya hakim sebagai garda terakhir penegakan hukum dalam mengadili kasus terkait perempuan dan anak, termasuk kasus Baiq wajib menggali dan mengoreksi yang telah dilakukan aparat penegak hukum sebelumnya terkait kerentanan akibat diskriminasi gender tersebut.
Hakim, kata dia, tidak cukup hanya mempertimbangkan tuntutan dan dakwaan yang dibuat oleh jaksa sebagaimana kasus-kasus tindak pidana pada umumnya, melainkan wajib menggali potensi kekerasan berbasis gender yang menjadi sebab peristiwa pidana itu terjadi.
Hal tersebut telah termaktub pada pertimbangan Perma tersebut “kewajiban negara untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap keadilan dan bebas dari diskriminasi dalam sistem peradilan”.