Suara.com - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membantah temuan data yang menyatakan polusi udara di Ibu Kota sudah mencapai tingkat yang berbahaya. Menurut Pemprov, data di pemerintah belum menunjukkan tingkat berbahaya.
Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta menegaskan bahwa data AirVisual yang menyatakan tingkat polusi udara Jakarta terburuk di dunia pada Selasa pagi (25/6) tidak sepenuhnya tepat.
AirVisual sebelumnya merilis data, bahwa pada Selasa, 25 Juni 2019, pukul 08.00 WIB nilai Air Quality Index (AQI) Jakarta adalah 240 dengan konsentrasi PM 2.5 sebesar 189.9 ug/m3 atau berada pada kategori Sangat Tidak Sehat (Very Unhealthy) yang berlaku pada jam dan lokasi pengukuran tersebut.
Parameter ini mengacu pada US AQI (United States Air Quality Index) level, di mana perhitungan nilai AQI tersebut menggunakan baku mutu parameter PM 2.5 US EPA sebesar 40 ug/m3.
Baca Juga: Polusi Udara Jakarta Terburuk di Dunia ? Ini 6 Bahaya Bagi Kesehatan
Selain data tersebut hanya berdasarkan pengukuran di titik tertentu dan pada waktu tertentu, parameter yang dominan digunakan adalah PM 2.5 atau partikel debu yang berukuran lebih kecil dari 2.5 mikron.
Sedangkan, standar yang digunakan di Indonesia dalam Kepmen LH Nomor KEP-45/MENLH/10/1997 Tentang Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) mengatur hanya standar partikel debu PM 10.
Regulasi yang berlaku di Indonesia tersebut menggunakan 5 (lima) jenis parameter pengukuran indeks kualitas udara, yaitu PM 10, SO2, CO, O3, dan NO2 yang dipantau selama 24 jam.
“Indeks Kualitas Udara di Indonesia belum mengunakan parameter PM 2.5, namun, nilai konsentrasi PM 2.5 sudah diatur sebesar 65 ug/m3 per 24 jam. Standar ini sedikit lebih tinggi dari standar US EPA sebesar 40 ug/m3,” kata Plt Kepala Dinas LH DKI Jakarta, Andono di Jakarta, Kamis (27/6/2019).
Andono menjelaskan Dinas LH DKI juga memiliki data pembanding berdasarkan pemantauan dari Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU) milik pemerintah yang tersebar di wilayah Jakarta, yaitu di Bundaran HI, Kelapa Gading, dan Jagakarsa. Pada hari Selasa, 25 Juni 2019, ISPU DKI Jakarta dalam kategori sedang di seluruh Ibu Kota.
Baca Juga: Diperlukan: Pencatatan Polusi di Tol Trans Jawa
Berdasarkan data hasil pengukuran parameter PM 2.5 pada hari Selasa, 25 Juni 2019 pukul 08.00 WIB, di SPKU DKI 1 (Bundaran HI) konsentrasinya sebesar 94,22 ug/m3, DKI 2 (Kelapa Gading) sebesar 103,81 ug/m3, dan DKI 3 (Jagakarsa) sebesar 112,86 ug/m3.
"Di lokasi pemantauan SPKU milik DKI hasil pengukurannya tidak setinggi data AirVisual, sehingga tidak dapat dikatakan seluruh wilayah Jakarta kualitas udaranya buruk sepanjang waktu,” kata Andono.
Kemudian, Andono memaparkan, jika melihat data pengkuran dalam waktu yang lebih panjang, yaitu periode Januari sampai Juni 2019, didapati data bahwa di Jakarta sebagian besar hari kualitas udaranya memenuhi baku mutu, yaitu mencapai 87 persen dan hari yang melampaui baku mutu hanya 13 persen saja.
Andono mengakui sumber pencemar udara parameter PM 2.5 di DKI didominasi sektor transportasi darat, industri, dan debu akibat giatnya proyek pembangunan fisik.
“Debu akibat berbagai proyek pembangunan tersebut turut menurunkan kualitas udara di Jakarta, hal ini cukup wajar sebagai kota metropolitan yang sedang giat membangun,” ungkapnya.
Namun, Pemprov DKI Jakarta saat ini juga concern dalam Perbaikan Kualitas Udara dengan membuat Kegiatan Strategis Daerah (KSD) yaitu Pengendalian Pencemaran Udara dan menyusun roadmap Jakarta Cleaner Air 2030 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dengan 14 Rencana Aksi.
Rencana tersebut antara lain monitoring kualitas udara, pengembangan transportasi umum ramah lingkungan, penerapan Uji Emisi kendaraan bermotor, pengendalian kualitas udara kegiatan industri dan penyediaan bahan bakar ramah lingkungan.
“Masyarakat juga dapat turut berperan serta dalam memperbaiki kualitas udara Jakarta melalui langkah mudah, yaitu menggunakan transportasi umum, menggiatkan berjalan kaki, dan bersepeda,” tutup Andono.