Beberapa saksi mengatakan kepada Amnesty International bahwa ia melihat salah satu korban dalam kondisi luka parah dan berdarah-darah pada saat diseret oleh anggota Brimob.
Tidak puas dengan aksi di Kampung Bali, aparat kemudian menyeret ke lima korban ke depan Gedung Bawaslu untuk dikumpulkan dengan orang-orang lainnya yang telah polisi tangkap. Setiap anggota Brimob yang mendapati mereka saat diseret ke ke Bawaslu dari Kampung Bali melakukan pemukulan secara bergantian.
Di depan Gedung Bawaslu ke lima korban tersebut dimasukkan ke dalam mobil. Penyiksaan terus berlangsung hingga mobil tersebut membawa korban ke kantor polisi.
Amnesty International juga telah mendapatkan informasi bahwa beberapa diantara mereka yang ditahan pada tanggal 21-23 Mei 2019 telah ditahan tanpa adanya surat penahanan dan keluarga mereka tidak diberitahukan oleh polisi tentang penahanan tersebut. Ketika keluarga kemudian akhirnya mendapatkan informasi tentang penahanan tersebut dari teman atau kerabat, mereka tidak diperbolehkan untuk menemui anggota keluarganya yang ditahan selama beberapa hari setelah penahanan. Tidak jelas pula apakah akses terhadap penasehat hukum diberikan kepada mereka yang ditahan.
Baca Juga: Update Kasus Kerusuhan 22 Mei, Komnas HAM Usaha Temukan Pengajak Demo
“Hak tersangka dan keluarganya untuk diberitahukan tentang penahanan, hak atas penasehat hukum, merupakan dua dari berbagai hak atas peradilan yang adil yang penting yang juga dilindungi dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Kita harus mengingat bahwa penahanan yang sewenang-wenang memfasilitasi terjadinya penyiksaan dan perlakuan yang buruk lainnya. Ketika orang ditahan dalam gelap semakin mungkin ia disiksa”, tegas Usman.
Amnesty International menerima rekaman video dari saksi-saksi yang melihat langsung dan merekam kejadian penyiksaan yang dilakukan oleh Brimob terhadap orang-orang yang ada di lokasi kejadian pada 21-23 Mei.
Dalam salah satu video yang diterima oleh Amnesty International, tergambar bagaimana polisi pada dini hari tanggal 23 Mei menggunakan kekerasan yang tidak diperlukan ketika menangkapi beberapa orang dalam upaya membubarkan aksi protes yang berakhir ricuh di depan Fave Hotel di Kampung Bali. Lokasi tersebut terletak tidak jauh dari lokasi Smart Service Parking tempat korban yang kami temui dan empat orang lainnya juga mengalami penyiksaan pada pagi harinya.
Di video lainnya memperlihatkan polisi menangkap dan membawa dua orang yang salah satunya menggunakan atasan mirip rompi relawan dengan lambang bendera Indonesia di dada kanannya di dekat perempatan di dekat halte ATR/BPN di Jalan H Agus Salim, Jakarta Pusat. Tidak lama berselang, tiga anggota Brimob menghampiri pria berompi tersebut kemudian menendangnya di bagian perutnya hingga ia terjatuh ke trotoar sebelum dikeroyok beramai-ramai bersama anggota polisi lainnya.
Polisi kemudian menangkap satu orang lagi di dekat lampu merah perempatan Jl Sabang dan Jl. Wahid Hasyim. Saat tiba di zebra cross, anggota polisi yang ada di sekitar bersorak kepadanya “Nangis, nangis, nangis.” Kemudian salah seorang anggota Brimob memukul kakinya dengan tongkat dan satu orang lain menendangnya dari belakang. Beberapa anggota Brimob ingin bergabung memukuli namun sempat dihalangi oleh anggota polisi lainnya.
Baca Juga: Polisi Alami Kerugian saat Kerusuhan 22 Mei, 234 Anggota Jadi Korban
“Kami memahami dengan baik kesulitan yang dialami polisi dalam menangani aksi brutal yang bisa melukai para anggotanya juga saat bertugas. Polisi punya hak untuk menggunakan kekerasan jika diperlukan namun harus tetap dalam koridor asas proporsionalitas. Kita harus mengingat bahwa hak untuk bebas dari penyiksaan adalah hak yang tak dapat dikurangi dalam kondisi apapun,” Usman menjelaskan.