Suara.com - Dewan Pakar Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia Teddy Gusnaidi menolak rencana aksi massa yang akan digelar bertepatan dengan sidang putusan sengketa hasil Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi.
Penolakan Teddy Gusnaidi ini ditolak oleh warganet hingga keduanya terlibat adu argumen di media sosial.
Adu argumen antara Teddy Gusnaidi dengan seorang warganet dengan akun Twitter @tabrani29726787, berawal dari cuitan Teddy Gusnaidi yang menolak adanya demo pada sidang putusan MK.
Teddy Gusnaidi menegaskan, demo hanya boleh dilakukan oleh pasangan capres dan timnya. Di luar itu polisi berhak membubarkan aksi demonstrasi.
Baca Juga: Minta Pendukung Tak Aksi Jelang Putusan MK, BPN: Berdoa di Tempat Ibadah
"Yang punya hak dan boleh demo di MK terkait hasil Pilpres hanya Capres cawapres dan tim suksesnya, selain itu ilegal. Polisi bisa membubarkan demo jika yang melakukan demo bukan pihak yang disebutkan," kata Teddy Gusnaidi seperti dikutip Suara.com, Senin (24/6/2019).
Ia menegaskan, jika ada paslon capres yang marah ataupun protes saat pihak berwajib membubarkan demo ilegal, maka dapat dipastikan sang paslon lah yang menjadi dalang di balik aksi demo. Karenanya, kasus tersebut harus diusut tuntas oleh pihak kepolisian.
Cuitan Teddy Gusnaidi tersebut dikomentari oleh warganet @tabrani29726787. Ia tak terima dengan pernyataan Teddy Gusnaidi.
"Emang Indonesia negara komunis rakyat mengawal sidang dilarang?" tanya warganet @tabrani29726787.
Ternyata, pertanyan warganet tersebut direspon oleh Teddy Gusnaidi. Ia menegaskan bahwa mengawal dan mendesak memiliki makna yang berbeda.
Baca Juga: Sidang Gugatan Prabowo Dipercepat, KPU: Vonis MK Jangan Didramatisir!
"Mengawal beda dengan mendesak apalagi menuntut. Demo adalah perbuatan mendesak & menuntut. Itu bukan hak seluruh rakyat, karena berdasarkan amanat UUD45, yang memilih capres itu bukan rakyat tapi Parpol. Dan perintah UU Pemilu, yang berhak menuntut itu ya calon! bukan rakyat umum," kata Teddy Gusnaidi.