Cerita Miris 29 Perempuan WNI Korban 'Pengantin Pesanan' di China

Bangun Santoso Suara.Com
Senin, 24 Juni 2019 | 13:59 WIB
Cerita Miris 29 Perempuan WNI Korban 'Pengantin Pesanan' di China
Monika asal Kalimantan Barat, tinggal 10 bulan di China dan dipaksa bekerja tanpa upah serta mengalami kekerasan seksual. (VOA/Rio Tuasikal)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mencatat ada 29 perempuan asal Indonesia jadi korban pengantin pesanan di China selama 2016-2019. Para perempuan ini dibawa ke China, dinikahkan dengan lelaki di negara tersebut, dengan iming-iming diberi nafkah besar. Namun, kata Sekjen SBMI Bobi Anwar Maarif, perempuan ini malah ‘dieksploitasi’ dengan bekerja di pabrik tanpa upah.

“Dia sama-sama kerja dari jam 7 sampai 6 sore. Kemudian ada lagi kerja tambahan merangkai bunga sampai jam 9 malam. Jadi dia kerja. Tapi dari pekerjaan-pekerjaan itu dia nggak dapat apa-apa. Semua upahnya itu ke suami atau ke mertua,” ujar Bobi dalam konferensi pers di LBH Jakarta, Minggu (23/6/2019) siang.

Para perempuan ini berasal dari Jawa Barat (16 orang) dan Kalimantan Barat (13 orang). Mereka dikenalkan dengan lelaki di China lewat mak comblang atau pencari jodoh.

Kata Bobi, para perempuan ini tergoda dengan iming-iming uang. “Dari cerita-cerita yang kami dapatkan itu memang mereka butuh duit,” katanya sebagaimana dikutip dari VOA.

Baca Juga: 29 Wanita Indonesia Terjerat Pernikahan Pesanan China, Berapa Harganya?

Dipesan Seharga Rp 400 Juta

Sekjen SBMI Bobi Anwar Maarif menunjukkan foto salah satu perantara. (VOA/Rio Tuasikal)
Sekjen SBMI Bobi Anwar Maarif menunjukkan foto salah satu perantara. (VOA/Rio Tuasikal)

Dari berbagai laporan, SBMI menemukan para perempuan ini dipesan dengan harga 400 juta Rupiah. Dari angka itu, 20 juta diberikan kepada keluarga pengantin perempuan, sementara sisanya kepada para perekrut lapangan.

Di China, para korban kerap dianiaya suami dan dipaksa berhubungan seksual, bahkan ketika sedang sakit. Para korban juga dilarang berhubungan dengan keluarga di Indonesia. SBMI menduga, pernikahan ini sebetulnya merupakan praktik perdagangan manusia.

“Proses ini sudah ada proses pendaftaran, perekrutan, penampungan, ada pemindahan, ada pemberangkatan keluar negeri. Terus cara-caranya itu ada penipuan, informasi palsu, dan pemalsuan dokumen,” paparnya.

Namun, di China, kasus-kasus ini dianggap sebagai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bukan perdagangan orang.

Baca Juga: 29 Perempuan Indonesia Korban Nikah Pesanan Lelaki China, Dijadikan Budak

Pengacara LBH Jakarta, Oky Wiratama, mendesak kepolisian mengungkap sindikat perekrut dengan UU TIndak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI