Kubu Prabowo Ragukan Netralitas MK, 2 Peneliti Asing Ungkap Data Sebaliknya

Reza Gunadha Suara.Com
Jum'at, 14 Juni 2019 | 18:23 WIB
Kubu Prabowo Ragukan Netralitas MK, 2 Peneliti Asing Ungkap Data Sebaliknya
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman didampingi sejumlah Hakim Konstitusi memimpin sidang perdana sengketa Pilpres 2019 di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (14/6). [Suara.com/Muhaimin A Untung]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sidang sengketa hasil Pilpres 2019 yang diajukan Capres Cawapres nomor urut 2 Prabowo Subianto - Sandiaga Uno, akhirnya perdana digelar di Mahkamah Konstitusi, Jumat (14/6/2019).

Dalam persidangan, Tim Hukum Prabowo - Sandiaga memohonkan 15 petitum yang intinya meminta MK mendiskualifikasi kepesertaan Capres Cawapres nomor urut 1 Jokowi - Maruf Amin dari Pilpres 2019.

Selain itu, kubu Prabowo - Sandiaga juga memohon kepada MK agar Capres Cawapres nomor urut 2 disahkan sebagai pemenang Pilpres 2019.

Dasar petitum tersebut, Tim Hukum Prabowo - Sandiaga mengklaim Capres Cawapres nomor urut 1 Jokowi - Maruf Amin melakukan kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif.

Baca Juga: Terima Berkas Perbaikan yang Diprotes KPU, Kubu Prabowo Angkat Topi ke MK

Pada Pilpres 2014, ketika Prabowo kali pertama berhadap-hadapan dengan Jokowi, juga berakhir dengan gugatan ke MK.

Namun, pada pilpres kali ini, Prabowo - Sandiaga dan tim sukses sempat berkukuh tak mau mengajukan gugatan ke MK. Mereka menilai, menggugat hasil pilpres ke MK adalah kesia-siaan.

Fadli Zon, Dewan Pengarah BPN Prabowo – Sandiaga, misalnya sempat meyakini kubunya tidak akan menggugat hasil Pilpres 2019 ke Mahkamah Konstitusi.

Penyebabnya, Fadli menilai MK tidak becus menjadi lembaga tinggi negara dalam mengurus sengketa pemilu.

Fadli mengungkapkan, Prabowo memunyai pengalaman mengadukan ke MK saat terjadi sengketa hasil Pilpres 2014.

Baca Juga: Dituding Menangkan Jokowi, BIN Bantah Pernyataan Kubu Prabowo di MK

Ia menyebut MK kala itu tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai pengadil dalam sengketa Pilpres 2014.

"Jadi BPN tak akan ke MK, karena tahun 2014, kami sudah menempuh jalur itu dan akhirnya MK itu useless soal pilpres. Enggak ada gunanya MK," kata Fadli di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Rabu (15/5/2019).

Setelah memutuskan mengajukan permohonan penyelesaian sengketa pun, Ketua Tim Hukum Prabowo - Sandiaga, yakni Bambang Widjojanto sempat melontarkan pernyataan agar MK tak menjadi bagian rezim korup.

Dia menyebut agar MK tidak menjadi bagian dari rezim yang korup. Hal itu diungkapkan Bambang saat memasukkan berkas gugatan hasil Pilpres 2019, Jumat 24 Mei 2019.

"Mudah-mudahan Mahkamah Konstitusi bisa menempatkan dirinya menjadi bagian penting di mana kejujuran dan keadilan harus menjadi watak dari kekuasaan, dan bukan justru menjadi bagian dari satu sikap rezim yang korup," kata Bambang.

Keragu-raguan kubu Prabowo - Sandiaga kepada MK dinilai cukup beralasan oleh Björn Dressel dan Tomoo Inoue.

Björn Dressel adalah Associate Professor pada Crawford School of Public Policy, Australian National University. Sementara Tomoo Inoue adalah Profesor bidang Ekonomi pada Seikei University, Tokyo, Jepang.

Dalam laman daring The Conversation, 11 Juni 2019, keduanya mengatakan, "Sejumlah orang ragu akan kenetralan MK. Sejak penangkapan para hakim MK, termasuk mantan hakim agung Akil Mochtar atas kasus penyuapan, di tahun 2013, publik menjadi meragukan kualitas lembaga tersebut."

Namun, keduanya menyajikan hasil penelitian mereka yang justru menunjukkan fakta berbeda: kurun waktu 2004 - 2018, tak ada bukti yang memengaruhi keputusan MK agar selalu mendukung rezim dalam kasus-kasus penting.

Penelusuran Suara.com, Jumat, Björn Dressel dan Tomoo Inoue sempat membuat penelitian empirik yang diterbitkan Constitutional Review, Vol 4 Number 2, Desember 2018, tentang independensi MK.

Dalam penelitian yang dipublikasikan dengan judul Megapolitical Cases before the Constitutional Court of Indonesia since 2004: An Empirical Study, keduanya menganalisis 80 putusan MK sejak tahun 2004 sampai 2018.

Sebanyak 80 putusan itu terkait kasus-kasus yang dianggap masuk kategori "megapolitik" dengan penentuannya berdasarkan pada: (1) pemberitaan pada halaman depan dua koran-koran referensi; (2) kutipan dalam publikasi-publikasi MK; dan, (3) penentuan ahli lokal.

“Kasus-kasus ‘megapolitik’ menjadi satu topik yang kami minati karena kita memperkirakan faktor-faktor personal dan politis menjadi faktor penting dalam perumusan putusan hakim dikarenakan sifat kekhasan dari masalah-masalah ini, dan juga lemahnya dasar doktrin dalam pengambilan putusan dalam perkara-perkara ini.”

Secara rinci, 80 kasus itu terdiri dari 28 persen sengketa pemilu; 33 persen kasus hak-hak individu dan kebebasan sipil; 24 persen soal pemisahan kekuasaan antarlembaga negara; 9 persen tentang ekonomi; dan 6 persen soal kekuasaan presiden.

"Pendapat individu setiap hakim pada 80 kasus ini menghasilkan 710 observasi. Outcome of interest atau variabel dependen dalam analisis regresi ini adalah, apakah sebuah putusan berlawanan dengan pemerintahan yang sedang menjabat,” demikian hipotesis penelitian mereka.

Keduanya juga mengumpulkan data sosio-biografis dari 26 hakim yang memberikan putusan atas kasus-kasus tersebut.

Misalnya, masa jabatan hakim di MK, universitas almamater hakim, tahun kelulusan, karier profesional, serta tempat bekerjanya sebelum diangkat sebagai hakim.

Data identitas hakim MK selama tahun 2004 - 2018. [Björn Dressel dan Tomoo Inoue]
Data identitas hakim MK selama tahun 2004 - 2018. [Björn Dressel dan Tomoo Inoue]

Dalam kurun waktu 14 tahun tersebut, 26 hakim diangkat dan 10 diangkat ulang. Rinciannya, 9 hakim pada masa Presiden Megawati, 20 hakim masa Presiden SBY, dan 7 hakim pada era Jokowi.

Hasil penelitian Björn Dressel dan Tomoo Inoue tergolong unik, karena 41 kasus atau 51 persen dari total 80 perkara, diputuskan dengan suara bulat panel hakim MK.

Namun, pada 39 kasus atau 49 persen dari total perkara yang digarap, setidaknya ada 1 hakim yang menyatakan tidak setuju terhadap putusan atau memberikan dissenting opinion.

Data kasus hakim-hakim MK yang dissenting opinion selama tahun 2004 - 2018. [Björn Dressel dan Tomoo Inoue]
Data kasus hakim-hakim MK yang dissenting opinion selama tahun 2004 - 2018. [Björn Dressel dan Tomoo Inoue]

Jumlah maupun persentase hakim MK yang berbeda pendapat saat memutuskan perkara megapolitik, terus menurun setiap tahun hingga pada era rezim Presiden Jokowi.

Tapi, "Menariknya, pemerintah kalah sebanyak 75 persen dari putusan dan hanya memenangkan 25 persen dari total 80 kasus yang diteliti."

"Artinya, data tersebut menunjukkan tuduhan keberpihakan MK kepada pemerintah tidak valid, meski jumlah kasus yang terdapat dissenting opinion hakim terus berkurang," tulis keduanya.

Kredibilitas Hakim MK

Sementara untuk menjawab keragu-raguan publik terhadap hakim MK yang terbingkai negatif sejak penangkapan Akil Mochtar serta Patrialis Akbar, Björn Dressel dan Tomoo Inoue menangalisis persona hakim-hakim.

Mereka menjelaskan, Indonesia terinspirasi sistem pemilihan hakim konstitusi Korea Selatan agar tak terjadi monopoli suatu institusi terhadap MK.

Sistem pemilihan itu yakni dari 9 hakim konstitusi, 3 di antaranya diajukan presiden; 3 lainnya usulan DPR; 3 sisanya usulan Mahkamah Agung.

Data pekerjaan asal hakim MK selama tahun 2004 - 2018. [Björn Dressel dan Tomoo Inoue]
Data pekerjaan asal hakim MK selama tahun 2004 - 2018. [Björn Dressel dan Tomoo Inoue]

"Tidak seperti pengadilan tinggi di Thailand, Filipina, dan Malaysia, pengangkatan hakim tidak didominasi oleh universitas atau jabatan hukum yang dimiliki sebelumnya. Selain itu, penelitian kami tidak menemukan bukti adanya suara hakim yang dipengaruhi oleh MA, DPR, atau presiden."

Dalam analisis secara statistik pola pemungutan suara setiap hakim, kedua peneliti menemukan para hakim justru cenderung tidak berpihak pada pemerintah menjelang akhir masa jabatan sang kepala negara atau pensiun para hakim.

Dengan kata lain, para hakim dapat mengambil sikap yang lebih berani ketika mereka tidak takut akan hukuman dari presiden yang menjabat, atau ketika para hakim tidak mengkhawatirkan prospek karier mereka lantaran mau pensiun.

“Walau proses pencalonan yang dipolitisasi, para hakim tampaknya bertindak dengan independensi penuh.”

Data hakim MK yang putusannya membela pemerintah dan yang tak membela pemerintah selama tahun 2004 - 2018. [Björn Dressel dan Tomoo Inoue]
Data hakim MK yang putusannya membela pemerintah dan yang tak membela pemerintah selama tahun 2004 - 2018. [Björn Dressel dan Tomoo Inoue]

Secara geopolitik, putusan-putusan yang dibuat para hakim MK justru dinilai menguntungkan publik ketimbang pemerintah.

Dalam penelitian Björn Dressel dan Tomoo Inoue, sejumlah putusan MK yang menguntungkan publik ialah: pembatalan privatisasi perusahaan listrik; dan, mengecam anggaran pemerintah yang gagal mengalokasikan dana yang cukup untuk pendidikan.

Selanjutnya, MK mengeluarkan putusan yang melindungi agama, etnis; melindungi minoritas seksual dari diskriminasi pemerintah dan berulang kali berurusan dengan sengketa pemilu.

“Sejak 2003, MK telah meloloskan lebih dari seperempat petisi dan merevisi 74 undang-undang, membatalkan empat secara keseluruhan, dan membatalkan sebagian dari yang lainnya.”

Data putusan yang diterima sepenuhnya, diterima sebagian, tidak dikabulkan, dan ditolak MK berdasarkan ketuanya. [Björn Dressel dan Tomoo Inoue]
Data putusan yang diterima sepenuhnya, diterima sebagian, tidak dikabulkan, dan ditolak MK berdasarkan ketuanya. [Björn Dressel dan Tomoo Inoue]

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI