Suara.com - Maqdir Ismail, pengacara pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim menilai tak masuk akal dan banyak kejanggalan terkait penetapan status kliennya sebagai tersangka di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Diketahui, Sjamsul dan istrinya, Itjih Nursalim resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Pasangan suami istri itu diduga telah memperkaya diri sendiri terkait korupsi BLBI yang mencapai Rp 4,58 triliun.
Maqdir pun menjelaskan saat tahun 1998, pemerintah dan Sjamsul telah menandatangani perjanjian Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) atau Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) atas seluruh kewajiban BLBI yang diterima BDNI.
Kemudian, perjanjian tersebut telah dipenuhi setahun setelahnya pada 1999, dan telah disahkan dengan penerbitan Surat Release and Discharge (R&D), pembebasan dan pelepasan serta dikukuhkan dengan Akta Notaris Letter of Statement.
Baca Juga: Jadi Tersangka Korupsi BLBI, KPK Akan Sita Aset Sjamsul Nursalim
Intinya, menyatakan bahwa seluruh kewajiban Sjamsul telah terselesaikan, serta membebaskan dan melepaskan dirinya dan afiliasinya dari segala tindakan hukum yang mungkin ada sehubungan dengan BLBI dan hal terkait lainnya.
Selanjutnya, Maqdir mengatakan, kewajiban Sjamsul tersebut sudah dikonfirmasi oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada tahun 2002. Atas dasar itu, Maqdir menganggap sejak tahun 1998 hingga 1999 seluruh aset termasuk hutang petambak Dipasena telah sepenuhnya milik dan di bawah kendali pemerintah.
"Apakah akan diberikan keringanan (haircut), dihapuskan, ataupun dijual sudah sepenuhnya kewenangan pemerintah, bukan lagi kewenangan SN (Sjamsul Nursalim). Sekarang, mengapa urusan hapus atau tidak menghapus utang petambak Dipasena kembali dikait-kaitkan dengan SN?," kata Maqdir di Jakarta, Selasa (11/6/2019).
Maqdir pun menyoroti langkah KPK dengan membuka penyelidikan baru atas pengembangan kasus korupsi BLBI yang telah menjerat Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung, dengan vonis 15 tahun kurungan penjara.
Syafruddin dianggap terbukti sah oleh pengadilan telah salah menghapuskan hutang petambak Dipasena kepada BDNI pada tahun 2004. Menurut, Maqdir baik sebelum maupun sesudah 2004, BPK telah menegaskan dan mengkonfirmasi bahwa Sjamsul telah memenuhi seluruh kewajibannya berdasarkan Perjanjian MSAA yang dibuat oleh pemerintah dan Sjamsul pada tahun 1998.
Baca Juga: Pengembangan Kasus BLBI, KPK Tetapkan Bos BDNI dan Istri Sebagai Tersangka
Maqdir menganggap bahwa penentapan tersangka Sjamsul bersumber dari Surat Keterangan Lunas (SKL), yang merupakan tindakan dari BPPN.
"Kalau terjadi kerugian negara akibat penjualan aset Dipasena, dapat dipastikan hal itu terjadi bukan atas persetujuan Bapak dan Ibu Sjamsul Nursalim," ungkap Maqdir.
Maqdir mengungkapkan audit laporan investigasi BPK tahun 2002 bahwa seluruh kewajiban Sjamsul berdasarkan MSAA seluruhnya telah diselesaikan. Tahun 2006 pun Surat Release and Discharge dan Akta Notaris Letter of Statement dan Laporan Audit BPK intinya mengkonfirmasikan bahwa SKL telah layak diterbitkan kepada Sjamsul karena dia telah memenuhi semua kewajiban berdasarkan MSAA.
Maqdir pun memandang salah KPK yang dianggapnya tidak menjelaskan laporan audit BPK 2002 dan 2006, yang merupakan bukti dan konfirmasi yang turut menentukan.
"Sangat mencurigakan mengapa KPK mengabaikan kedua laporan audit itu. Dan malah meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan kembali pada Agustus 2017. Di mana BPK lalu menerbitkan laporan audit Investigasi dengan hanya mendasarkan pada alat bukti, data, dan informasi sepihak dari KPK," kata Maqdir.
Maqdir menganggap data BPK pada tahun 2017 tersebut, hanya berdasarkan laporan sepihak dari KPK yang meminta pemeriksaan ulang. Maqdir pun belum menentukan langkah hukum ke depannya terkait penetapan status tersangka kliennya tersebut.
"Tentu kami harus ketemu dahulu dengan klien. Baru nanti akan menentukan sikap," tutup Maqdir.