Suara.com - Terdakwa dalam perkara sengketa lahan Yayasan Universitas 17 Agustus 1945 (Untag), Tedja Widjaja memohon kepada majelis hakim agar membebaskannya dari segala dakwaan jaksa penuntut umum (JPU). Tedja menyampaikan permohonan tersebut saat membacakan pleidoi di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Senin (10/6/2019).
Tedja Widjaja, pengusaha yang lama berkecimpung di dunia pendidikan, didakwa melakukan tindak pidana penipuan dan penggelapan dalam jual beli lahan Yayasan Untag senilai lebih dari Rp 65 miliar. Untuk itu, JPU menuntut terdakwa dengan hukuman 3,5 tahun penjara.
Dalam pledoinya, Tedja mengatakan dalam perkara ini dia telah dikriminalisasi karena faktanya selaku pembeli telah menyelesaikan seluruh kewajibannya. “Kami tidak habis pikir bagaimana mungkin selaku pembeli sebidang tanah kami bisa dikriminalisasi telah melakukan tindak pidana penipuan dan penggelapan? Jika seorang pembeli telah membayar seluruh harga pembelian, maka kewajibannya sudah tuntas,” ujarnya.
Menurut Tedja, transaksi jual beli tanah adalah transaksi komersial biasa. Sekiranya pihak penjual merasakan adanya kekurangan pembayaran, maka prosedur yang harus dilakukan adalah membuat surat tegoran atau penagihan. Selain itu, jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan suatu perjanjian perdata maka upaya hukum yang pertama-tama harus dilakukan adalah gugatan perdata untuk memperoleh putusan Majelis Hakim perdata.
Baca Juga: Sengketa Lahan Untag Versi Tedja Widjaja: Kriminalisasi Perjanjian Bisnis
“Sejak perjanjian (jual beli) ditandatangani sembilan tahun yang lalu sampai dengan hari ini, kami sama sekali belum pernah menerima surat tegoran atau surat penagihan apa pun dari pihak penjual. Penjual juga belum pernah melakukan gugatan perdata mengenai kekurangan pembayaran karena memang tidak ada kekurangan pembayaran,” kata Tedja.
Lebih lanjut dalam pembelaan pribadinya, Tedja kembali menegaskan beberapa bukti dan fakta persidangan, termasuk keterangan saksi-saksi, yang bisa menjadi pertimbangan majelis hakim dalam memutus perkara ini. Pertama, semula Tedja hanya bertujuan mendirikan sekolah, bukan untuk membeli lahan Yayasan Untag. Pada awalnya di tahun 2007, Tedja tidak mengenal Rudyono Darsono (pelapor) atau pihak Yayasan Untag.
Dia hanya mengenal Hindarto Budiman (almarhum) karena telah menandatangani Perjanjian Kerja Sama untuk membangun Sekolah Lentera Kasih di Sunter, Jakarta. Tanah yang dialokasikan ternyata berada di lahan yang diperoleh Hindarto berdasarkan Perjanjian Kerja Sama dengan Yayasan Untag. Namun, Hindarto jatuh sakit dan tidak bisa merealisasi kerja sama dengan Yayasan Untag sehingga Tedja ditawarkan dan diminta untuk melanjutkan perjanjian tersebut.
“Berdasarkan kesepakatan bersama dibuatlah Perjanjian Kerja Sama No. 58 tahun 2009 antara PT Graha Mahardikka dan Yayasan Untag. Karena tujuannya adalah untuk melanjutkan perjanjian yang sudah ada sebelumnya maka para pihak sepakat untuk melanjutkan syarat-syarat yang sudah ada di perjanjian sebelumnya,”papar Tedja kepada Majelis Hakim.
Selanjutnya, sesuai bukti-bukti dan keterangan saksi-saksi di persidangan, Tedja sudah menyelesaikan seluruh kewajiban pembayaran harga tanah sesuai dengan Perjanjian Kerja Sama Nomor 58. Pembayaran itu mencakup, uang muka sebesar Rp 6,445 miliar yang dibayarkan oleh Hindarto Budiman, pembangunan gedung kampus Untag setinggi delapan lantai dengan luas 8.000 meter persegi dengan nilai Rp 31,4 miliar (melebihi perjanjian yang hanya Rp 24 miliar), pembayaran sebesar Rp 15 miliar untuk untuk pembelian tanah di Cibubur sebagai pengganti tanah di Sunter, serta pembayaran sebesar Rp 36,129 miliar (dari seharusnya Rp 31,5 miliar sesuai perjanjian) ke rekening Bank Mandiri 1200006749779 (sebesar Rp 19,42 miliar) dan BCA 5830302222 (Rp 16,71 miliar) atas nama Yayasan Untag.
Baca Juga: Sengketa Lahan Untag, Pembayaran Terdakwa Melebihi Perjanjian
“Perlu ditelusuri lebih jauh oleh Yayasan Untag dan pihak aparat hukum, dana yang sudah kami bayarkan tersebut kemudian mengalir ke mana? Apakah ada oknum-oknum di yayasan yang telah menyelewengkan atau menggelapkan dana hasil penjualan lahan yang nilainya lebih dari Rp 67,5 miliar tersebut,” lontar Tedja kepada majelis hakim yang dipimpin Tugiyanto.
Terkait dengan dakwaan penipuan karena tidak merealisasikan pembuatan bak garansi, Tedja menyatakan bahwa tidak ada kewajiban tersebut dalam perjanjian. “Tuduhan bahwa kami menjanjikan bank garansi atas transaksi tersebut adalah bohong dan fitnah belaka, karena jika benar diwajibkan adanya bank garansi pasti hal itu dicantumkan dalam Perjanjian Kerja Sama Nomor 58 atausetidaknya dibuatkan dalam addendum perjanjian,” tandas Tedja.
Sumber perkara bermula dari transaksi jual-beli antara Yayasan Untag yang diwakili Rudyono Darsono dengan Tedja Widjaja selaku Direktur PT GM atas lahan milik Yayasan Untag seluas 3,2 hektare dengan nilai transaksi Rp 65,6 miliar pada 2009. Dalam transaksi tersebut disepakati empat bentuk pembayaran yang tertuang dalam akta perjanjian kerjasama No.58, tangal 28 Oktober 2009, yang seluruhnya sudah dilunasi oleh Graha Mahardhika dengan bukti pembayaran yang lengkap.
Pertama, pembayaran uang muka Rp 6,445 miliar.
Kemudian pembayaran senilai Rp 15 miliar. Selanjutnya Rp 16,145 miliar dibayar tunai bertahap selama 36 bulan, dan terakhir dibayar dengan pembangunan gedung kampus baru dengan nilai minimal Rp 24 miliar. Pada Juni 2017, Yayasan Untag melaporkan dugaan tindak pidana oleh Tedja Widjaja ke polisi yang ditindaklanjuti oleh polisi dengan melakukan penyidikan.
Pada perjalanannya, polisi menyatakan berkas perkara tersebut lengkap dan melimpahkannya ke kejaksaan yang berlanjut ke penuntutan hingga akhirnya naik ke persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara sejak awal Oktober 2018 dengan Nomor Perkara 1087/PID.B/2018/PN.JKT.UTR.
Dalam dakwaannya, Penuntut Umum menuduh Tedja Widjaja belum melakukan pembayaran sebesar Rp 15 miliar yang akan digunakan Untag untuk membeli tanah di lokasi lain sebagai pengganti tanah di Sunter. Dalam Surat Dakwaan, Tedja Widjaja didakwa telah melakukan tindak pidana Penipuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 KUHP karena melakukan tipu muslihat dengan bujuk rayu dengan cara menjanjikan penerbitan Bank Garansi agar pihak Untag bersedia menandatangani
Akte Jual Beli, namun ternyata Bank Garansi yang dijanjikan tersebut tidak pernah terbit. Selain itu, Tedja Widjaja juga didakwa telah melakukan tindak pidana Penggelapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 KUHP karena menjaminkan 5 sertifikat tanah kepada Bank ICBC dan Bank Artha Graha
Kuasa Hukum Tedja, nahoat Silitonga mengatakan, soal dakwaan belum melunasi pembayaran, kliennya memiliki bukti pembayaran melalui transfer bank dan pihak Yayasan Untag sudah mengeluarkan keterangan lunas tertanggal 18 Februari 2015. Sementara mengenai bank garansi, dalam perjanjian jual beli tidak pernah ada ketentuan bahwa Tedja akan memberikan bank garansi.
“Soal bukti tanda terima sebesar Rp 16 juta sebagai biaya pembuatan bank garansi sangatlah tidak relevan, karena tidak mungkin Tedja Widjaja membayarnya ke pihak Untag sebagai penjual, terlebih lagi nilainya tidak sebanding dengan nilai transaksi tanah sebesar Rp 65 miliar. Dalam praktiknya, biaya penerbitan bank garansi adalah dua persen dari nilai transaksi atau sebesar Rp 1,3 miliar,” paparnya.
Mengenai tuduhan penggelapan dengan menjaminkan sertifikat-sertifikat tanah ke bank, hal tersebut dilakukan lantaran sertifikat memang telah balik nama dan dimiliki PT Graha Mahardikka, Tedja Widjaja, dan istrinya. Nama-nama tersebut merupakan pemilik dan berhak, untuk menjaminkan ke bank.