Toleransi Syahadat Romo Bonifasius Abas dan Pluralisme Gus Dur

Jum'at, 31 Mei 2019 | 11:53 WIB
Toleransi Syahadat Romo Bonifasius Abas dan Pluralisme Gus Dur
Romo Bonifasius Abbas. [Suara.com/Teguh Lumbiria]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Nama Abdurrahman Wahid cukup dikenal luas sebagai tokoh nasional yang sejak awal mengedepankan pluralisme dan kemajemukan di Indonesia. Tak heran, sejumlah kalangan menyematkan istilah tokoh Pluralisme Indonesia kepadanya.

Tidak terkecuali pada diri Romo Bonifasius Abas. Kata hatinya telah menemukan sosok yang begitu pluralis pada diri Presiden ke-4 RI itu.

“Saya itu termasuk orang yang simpati pada Gus Dur dan saya merupakan orang yang menokohkan Gus Dur sebagai tokoh yang baik menurut saya,” kata Romo Boni, kala ditanya mengenai sosok Gus Dur, Kamis (30/5/2019).

Pria kelahiran Makassar ini menggambar, Gus Dur itu merupakan tokoh yang sangat terbuka. Sikap itulah yang kemudian dengan mudah bisa menerima dan diterima oleh semua kalangan.

Baca Juga: Kisah Toleransi Romo Boni Bimbing Muslim Ucapkan Syahadat Sebelum Meninggal

“Maka ketika kita berhadapan dengan yang lain, kalau kita tidak pernah membuka diri, maka kita akan sulit untuk bisa saling menghargai.

Kalau kita membuka diri dengan orang lain, maka kita bisa saling menerima, tidak hanya baiknya, tidak hanya cocoknya saja, tapi menerima perbedaannya,” kata Romo Boni.

Masih terkenang jelas dalam ingatan Romo Boni, pernyatan khas Gus Dur yang bernada datar, namun menyentuh.

“Gitu Aja Kok Repot”.

Pernyataan ini tidak sebatas menjadi pernyataan nge-tren, sebagaimana lazim orang-orang menirukannya. Romo Boni memandang, itu sebagai sikap yang tertanam pada diri Gus Dur yang penuh dengan toleran.

Baca Juga: Rayakan Toleransi Saat Ramadan, Klenteng Poo An Kiong Bagikan Takjil

“Ketika ada kles (masalah), Gus Dur itu orang yang memandang tidak perlu diperbesar. Jadi Presiden saja, ketika ada kles, jawabnya gitu saja kok repot,” tutur pria 50 tahun yang menjadi Romo sejak 1994 lalu.

Satu pemikiran mendasar akan kesepahamanya mengenai pernyataan itu. Baginya, tidak perlu saling direpotkan dengan perbedaan.

“Mari kita saling introspeksi diri, mari kita selesaikan bagaimana baiknya,” kata dia.

Karena semua itu, di mata dia tujuannya untuk kedamaian. Kalau tidak pernah berdamai, maka hidup akan berisi dengan tekanan.

“Bagi saya, Gus Dur itu merupakan sosok, tokoh yang betul-betul punya hati dan mau terbuka dengan siapa saja,” katanya, tak henti memuji.

Maka dia pun tak heran, ketika para pecinta Gus Dur di tanah air tidak hanya dari kalangan muslim, tapi banyak juga dari nonmuslim. Bagi Romo Boni, itu tidak terlepas dari keterbukaan hati Gus Dur yang kemudian bisa menerima dan diterima banyak kalangan.

Lebih lokal di Majenang dan sekitanya, terkait pluralisme dan toleransi itu dalam pandangannya terjalin cukup bagus.

“Saya baru satu tahun tugas di Majenang. Sebelumnya di Purwokerto, Makasar, Yogyakarta, Pekalongan, dan Banjarnegara. Dan saya melihat, teman teman secara umum yah, di Majenang masyarakatnya cukup terbuka,” kata dia.

Kegiatan Sarasehan dan Buka Bersama, “Memaknai Kesalehan Sosial di Bulan Suci Ramadan di Gereja Santa Theresia, Majenang, Cilacap, Senin (27/5) sore, menjadi salah satu tolokukurnya.

Sarahsehan dengan tagline “Kencot Baren Wareg Bareng” itu menghadirkan Budayawan Ahmad Tohari dan Romo Boni Abas.

Sarasehan yang diikuti ratusan peserta juga menghadirkan Ketua MWC NU Majenang, Kyai Hisbullah Huda dan Eko Waluyo dari PC Lesbumi Cilacap. Pamong Budaya Nasional Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan, Imam Hamidi Antassalam juga hadir dalam acara tersebut.

“Dengan kegiatan kemarin, kan bukan hanya Katolik dan Gusdurian. Tapi juga dengan NU, Muhammadiyah, lalu dengan gereja Kristen lain kita undang, mereka hadir juga. Dengan melihat itu, saya merasa bahwa orang di Majenang itu terbuka dan betul-betul punya hati. Dan saya rasa sangat mendukung soal toleransi, soal kerja sama,” kata dia.

Hal itu menjadi modal penting untuk ke depannya.

“Dan yang istimewa, kemarin (peserta) membaur langsung. Orang tidak pusing, apakah kamu NU, kamu Muhammadiyah atau saya Katolik. Orang semuanya membaur jadi sama-sama duduk bareng.

Ini Indonesia banget. Dan saya rasa soal toleransi di Majenang cukup berkembang,” kata dia.

Potret toleransi itu diperkuat dengan tari sufi oleh pegiat Lesbumi. Dalam satu sesi, tarian ini diiringi oleh kelompok hadroh. Kemudian sesi berikutnya menggandeng pengiring dari paduan suara Gereja Santa Theresia.

Saat bicara mengenai agama, Romo Boni memandang sebagai jalan menuju Tuhan. Banyaknya agama pada akhirnya memiliki banyak jalan. Namun tiap jalan ini punya tujuan akhir yang sama yakni Tuhan.

Kegiatan mendaki gunung dengan route yang berbeda, dijadikan contoh olehnya.

"Kita tidak bisa menyalahkan orang yang naik gunung lewat jalan lain. Tapi agama mengajarkan kita untuk setia dengan jalan yang kita pilih," kata dia.

Kontributor : Teguh Lumbiria

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI