Suara.com - Ika Hayati (54) sudah delapan bulan telah mengadu nasib ke Jakarta. Dari Sumedang, Jawa Barat, wanita paruh baya itu merantau ke Cinere, Depok, Jawa Barat.
Ika bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) sejak September 2018 lalu.
Kamis (30/5/2019) Ika terlihat sedang menunggu bus di Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur. Dia hendak pulang ke kampung halamannya di Sumedang. Di sebelahnya duduk seorang pria berusia 60 tahun. Pria itu bernama Sukara, yang tidak lain adalah suami Ika.
"Ini suami saya, mau jemput," kata Ika.
Baca Juga: H-7 Lebaran, Tol Trans Sumatera Mulai Ramai Dilalui Pemudik
Senyum Ika melebar, sebab beberapa jam lagi atau setidaknya besok dia sudah bisa berkumpul dengan keenam orang anaknya yang sudah menunggu di Sumedang. Berkumpul, melepas kangen, dan memasak untuk keluarga setidaknya itu yang sudah terbayangkan apa yang akan lakukannya saat Lebaran nanti.
Namun, senyum Ika seketika merapat saat ditanyai suka dan duka bekerja jauh dari keluarga. Bekerja jauh dari keluarga bukan hal yang mudah, kata Ika.
Air mata Ika perlahan turun ke pipinya. Saat dirinya ingat dan merasakan betapa beratnya hidup jauh dari anak dan suami. Tapi, seberapa berat beban yang harus ditanggungnya itu, wanita paruh baya itu mau tidak mau harus tetap dijalaninya. Perjuangannya mencari rezeki di Ibu Kota tak lain untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Sebab, Ika memiliki harapan masa depan sang anak harus lebih baik dari orang tuanya.
"Namanya kerja jauh dari anak, dari suami, ya gitu pasti ada enggak enaknya. Tapi mau enggak mau saya harus tetap kerja. Apalagi suami saya juga sudah enggak kerja, anak dua masih sekolah," ucapnya.
Setiap bulan Ika mengaku diberi upah Rp 2 juta. Semua uang itu pun dia kirimkan untuk keperluan makan dan keperluan pendidikan dua anaknya yang masih sekolah di kampung.
Baca Juga: Tiket Pesawat Mahal, Menteri BUMN Berangkatkan Pemudik Jalur Darat
Tapi Ika merasa beruntung meski seluruh upahnya itu dikirim ke keluarga di kampung namun dia masih suka diberi uang lebih oleh majikannya. Uang itu biasa Ika simpan untuk untuk keperluan mendesak.
"Pokoknya setiap bulan saya kirim semua ke kampung Rp 2 juta. Kalau saya disini juga kan enggak ada keperluan apa-apa. Pokoknya mah saya yang penting anak bisa sekolah dan makan di sana. Kalau saya di sini Alhamdulillah makan, sabun, pulsa dikasih sama si Ibu," tuturnya.
Ika mengatakan tak ada bekal khusus yang dibawa dari Jakarta ke kampung. Dia hanya membawa kue dan beberapa sirup saja.
Bagi Ika, saat ini yang dia nanti-nanti adalah bertemu seluruh anaknya. Dia mengaku sudah delapan bulan ini selama bekerja menunggu momen kumpul dan makan bersama dengan seluruh anggota keluarganya di rumah.
"Ya pingin cepat-cepat kumpul aja sama anak. Ngariung bareng makan, cerita-cerita gitu lah. Sudah lama kan itu enggak pernah lagi saya rasakan," tutupnya.