Suara.com - Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tahun 2019 ini mendapat opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Ketua KPU Arief Budiman mengakui lembaganya dalam tiga tahun terakhir naik turun mendapat opini dari BPK. Terakhir pada tahun 2018, KPU berhasil meraih opini (Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), kemudian pada dua tahun sebelumnya, tahun 2016 dan 2017, mendapat WDP.
"Hari ini kita menerima pemberitahuan tentang laporan hasil pemeriksaan keuangan, yang untuk tahun 2018. KPU hasilnya WDP, jadi tiga tahun terakhir ini naik turun. Jadi di anggaran tahun 2016 kita WDP, 2017 kita WTP, kemudian tahun 2018 kita WDP," ujar Arief di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (29/5/2019).
Tak hanya itu, Arief menuturkan pihaknya tidak mendapat WTP karena ada peningkatan anggaran untuk Pemilu.
Baca Juga: Ini Tujuh Temuan BPK RI Terkait Laporan Pemeriksaan Keuangan
"Yang jelas ada peningkatan kan jumlah anggaran yang harus dikelola KPU. Bukan jumlah nominal anggarannya saja yang naik, tapi juga jenis kegiatannya kan jadi lebih banyak," kata dia.
Arief menyebut pihaknya akan melakukan evaluasi agar kembali mendapat WTP. Hal ini menyusul arahan Presiden Jokowi yang meminta agar kementerian dan lembaga yang mendapat opini WTP melakukan pembenahan.
"Saya pikir ini pelajaran penting bagi KPU, ya mudah-mudahan sebagaimana harapan presiden tidak ada lagi nanti lembaga negara yang wajar dengan pengecualian, semua harus balik ke WTP lagi, apalagi yang disclaimer," kata dia.
Arief menuturkan anggaran yang ada di KPU setiap tahunnya sekitar Rp 1,6 Triliun. Namun selama tiga tahun terakhir meningkat.
"Anggaran tahapan pemilu, kalau anggaran rutinnya kan tidak jauh beda, KPU tiap tahun berkisar antara Rp 1,6 triliun ya, tetapi di tiga tahun terakhir ini kan anggaran kita meningkat, mulai dari 2017, 2018, dan 2019," kata dia.
Baca Juga: Pemerintah Pusat Dapat Opini WTP dari BPK Lagi, Jokowi: Alhamdulillah
Lebih lanjut, Arief mengatakan anggaran yang paling tinggi digunakan untuk membayar honor ad hoc, seperti Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).