Suara.com - Medical Emergency Rescue Committee (Mer-C) mengecam tindakan represif yang dilakukan aparat keamanan terhadap massa aksi 22 Mei. Mer-C menganggap aksi yang dilakukan di depan kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) itu seharusnya tidak perlu memakan korban.
Pendiri dan Dewan Penasihat MER-C, Joserizal Jurnalis menyebut, aparat keamanan seharusnya tidak boleh menyerang warga sipil sekaligus petugas medis saat tengah terjadi kerusuhan. Tindakan tersebut dikatakan Jose sudah melanggar Konvensi Jenewa tentang aturan perang.
"Konvensi Jenewa dibuat untuk atur peperangan. Bayangin, kekerasan yang harus terjadi tapi tetap diatur. Ambulan tak boleh diserang, petugas medis tak boleh diserang, di situ poinnya," ujar Jose saat ditemui di kantornya, kawasan Senen, Jakarta Pusat, Sabtu (25/5/2019).
Dalam konferensi pers yang digelar Jose bersama Mer-C soal kerusuhan 22 Mei, Jose menyebut tim medis Mer-C telah menemukan beberapa jenis peluru saat kerusuhan berlangsung. Termasuk peluru tajam yang dilarang penggunaannya, Jose mengaku menemukannya.
Baca Juga: Bukan Anak Kecil yang Dipukul Brimob, Polisi: Dia Andri Bibir Pemasok Batu
Peluru tersebut dipamerkan saat konferensi pers kepada awak media. Dalam penjelasannya, ia mengaku menemukan peluru karet saat operasi salah satu korban. Untuk peluru tajam ditemukan saat belum digunakan.
"Ini sekarang kita lihat dia gunakan peluru tajam, ini belum ditembakan ini. Ini peluru karet dan timah. Dan selongsongnya karet. Ini diambil dari pasien operasi, dan satu lagi dari relawan," kata Jose.
Jose mengatakan, akan mendalami mengenai penemuan peluru tersebut. Ia juga meminta agar tidak ada lagi penggunaan cara-cara militer dalam menangani kerusuhan aksi dan harus sesuai prosedur.
"Prosedur polisi itu, kita ambil dalam situasi perang titik kelola kita apalagi demo, demo itu tingkat ringan, bukan perlawanan militer. Cara pikir begitu," tutup Jose.
Baca Juga: Ini Tugas 11 Tersangka Kerusuhan 22 Mei, Salah Satunya Bawa Air Cuci Muka