Memoar Aktivis 98 yang Diculik (1): Senyum Terakhir Bima di Halte Trisakti

Reza Gunadha Suara.Com
Rabu, 22 Mei 2019 | 07:55 WIB
Memoar Aktivis 98 yang Diculik (1): Senyum Terakhir Bima di Halte Trisakti
[Suara.com/Ema Rohimah]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Elite-elite politik maupun warga biasa kekinian bisa menikmati kebebasan untuk berekspresi dan berpendapat. Namun, kebebasan itu tak murah harganya. Selain ditebus oleh darah aktivis Reformasi 98 yang meninggal, ada pula 13 aktivis hingga kekinian tak diketahui rimbanya.

Salah satu aktivis yang hingga kekinian dinyatakan hilang setelah diculik aparat pada medio 1990-an adalah mahasiswa FISIP Universitas Airlangga bernama Petrus Bima Anugrah.

Petrus Bima Anugrah hilang diculik pada 1 April 1998. Ia terakhir terlihat di Grogol, Jakarta Barat.

Adalah Lilik Hastuti Setyowatiningsih, seorang perempuan yang aktif menjadi aktivis Prodemokrasi pada era 1990-an, menceritakan sejumput kisah kenang-kenangannya dengan lelaki yang akrab disebut Bima Petrus itu. Berikut kisahnya.

Baca Juga: 'Bis Kota', Melawan Kopi Saset dari Utara Jakarta

BIMA Petrus, adalah kawan yang sangat aku sayangi. Lucu, baik hati, dan berkepala dingin. Dia selalu bisa menenangkanku dan kawan-kawan, bahkan dalam situasi yang sekali pun sangat sulit.

Aku benar-benar masih mengingat, Juli 1996, kami sedang mempersiapkan aksi pemogokan buruh di 10 pabrik Tandes Surabaya. Aksi itu akan diikuti belasan ribu buruh.

Jelas, itu saat-saat yang berat, dan karena rezim Orde Baru sedang kuat-kuatnya, maka sudah pasti pekerjaan kami kala itu sangat-sangat genting.

Berbulan-bulan kami  berdiam di basis pabrik, membuat pertemuan-pertemuan, diam-diam menyebar selebaran, menyususun strategi pemogokan dan aksi massa  hingga masuk Kota Surabaya.

Baca Juga: Kaum Muda yang Memilih Cadar di Era Terorisme

Aku nyaris tumbang, muntah-muntah, nervous, saking banyaknya pekerjaan yang dilakukan guna menyiapkan perlawanan.

Namun Bima, dia duduk di sampingku. Dia Memijat-mijat tengkukku. Ia lantas menyodorkan teh manis, sambil cengar-cengir.

“Minum teh, jangan sakit. Besok pesta besar. Kita pasti menang…” tutur Bima sembari cengar-cengir. Tapi bagiku, sikapnya seperti itu saja cukup menenangkan.

Setelah aksi yang menggemparkan rezim itu, Bima dipindah oleh organisasi ke Jakarta, menyusun barisan perlawanan di ibu kota.

Sementara aku, tetap ditugaskan mengorganisasikan buruh di Surabaya, hingga akhirnya pecah peristiwa 27 Juli 1996—penyerangan aparat kepolisian dan preman terhadap kantor PDI yang dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri.

Seusai peristiwa Kudatuli itu, kami semua jadi buronan. Diburu setiap waktu. Diuber-uber hingga ke lubang tikus. Keluarga diteror. Kampus dan indekos kami disatroni tentara.

Melihat seragam polisi atau tentara saja, bisa bikin jantung lompat ke ubun-ubun. Mendengar raungan sirine ambulans seperti sudah bersiap masuk penjara, esok pagi.

Lalu, tibalah informasi itu kepadaku: Bima tertangkap di Jakarta. Dia ditangkap karena kedapatan menyebarkan selebaran Mega – Bintang – Rakyat. Bima dianggap menyebar selebaran ”gelap”.

Bima Petrus (kiri) Herny Sualang (tengah) dan Ilhamsyah Boing (kanan) saat keluar dari Mapolda DKI Jakarta, setelah ditangkap karena membawa selebaran perlawanan, tahun 1997. [dok.Ilhamsyah]
Bima Petrus (kiri) Herny Sualang (tengah) dan Ilhamsyah Boing (kanan) saat keluar dari Mapolda DKI Jakarta, setelah ditangkap karena membawa selebaran perlawanan, tahun 1997. [dok.Ilhamsyah]

Bima akhirnya ditahan di Polda Metro Jaya selama 60 hari. Bersama Bima, dua kawan lain, yakni Ilhamsyah dan Herny Suwalang juga ditahan.

Sementara, ada 13 kader dan pemimpin PRD (Partai Rakyat Demokratik—dinyatakan terlarang oleh Orde Baru) masih ditahan di Lapas Cipinang. Sementara tiga kawan kami juga ditahan di Surabaya.

Masing-masing mereka sudah menerima vonis atas tuduhan subversif karena peristiwa 27 Juli 1996.

Suatu hari ketika dalam masa pelarian, aku melihat foto Bima nyengir ketika dikunjungi di Polda Metro Jaya.

Lalu, aku juga mendapat dan membaca surat yang ditulis Bima di tahanan polda untuk ibundanya. Ah, Bima yang tak pernah patah dan menyerah. Selalu riang. Selalu menenangkan.

Keluar tahanan polda, Bima benar-benar tak surut langkah. Ia kembali ke kawan-kawan, menyusun barisan perlawanan untuk penumbangan Soeharto.

Kami, anak-anak muda usia awal dua puluhan, awam situasi ibu kota, dipaksa kondisi untuk jadi seliat baja.

Kami terlatih menjelajah hingga ke sudut-sudut kota. Menyelipkan selebaran perlawanan ke pintu-pintu rumah, ke basis-basis pengumpulan massa, hingga tengah malam berbekal piloks menggoreskan mural  ”Gulingkan Soeharto” di tembok-tembok serta halte bus.

Itulah masa ketika ketakutan seperti tiada batasnya. Ya, karena kami yakin, perjuangan kami benar. Soeharto harus ditumbangkan dengan gerakan rakyat!

Situasi semakin panas tatkala Pemilu 1997 dimenangkan oleh Golkar, kekuatan politik rezim Soeharto. Lalu menjelang Sidang Istimewa MPR, di mana Soeharto akan dilantik untuk kali ketujuh, kader-kader PRD dari berbagai daerah diinstruksikan masuk Jakarta.

Kami ditugaskan menyusun barisan perlawanan dari pinggiran dan tengah kota. Situasi semakin mencekam.

Berbulan-bulan aku hidup di Jembatan Besi, Jakarta Barat. Aku bekerja menjadi buruh buang benang di pabrik konveksi kecil, yang memproduksi baju-baju olahraga untuk diekspor ke Afrika.

Kerja, jadi buruh, menetap di kawasan miskin kota, adalah bagian dari cara kami menggerakkan massa di teritori.

Perjumpaan dengan kawan diatur sangat rapat, rahasia, komunikasi sangat ketat, hanya via kurir, lewat pager salome alias dipakai beramai-ramai.

Biasanya, dalam berkomunikasi, kami menelepon ke operator pager, menanyakan pesan terakhir kawan, dengan bahasa sandi—yang terkadang kalau lagi lapar dan galau—bisa luput-luput rumusnya.

Bima, kurir terbaik kami. Disiplin. Tak banyak mengeluh. Akhir Maret yang tak pernah kulupa sepanjang hidup, sempat janjian dengan Bima di halte Trisakti.

Siang hari, di halte Trisakti, situasi mencekam. Beberapa kawan hilang diculik. Menyaksikan dia muncul dengan topi dan celana kodok—yang itu-itu saja dikenakan—hati ini melesat.

Bertemu kawan, dalam keadaan hidup dan sehat, itu sudah berkah luar biasa.

“Sudah makan?” tanya Bima pertama kali. Itu pertanyaan khas kami. Bisa makan tiga kali sehari, itu kemewahan. Kami makan di pinggir jalan. Sayur segunung, telor dadar tebal dan lebar. Mewah luar biasa.

Kami lantas bercakap. Lewat Bima, aku dan kawan lain memperbarui kondisi organisasi, kondisi kawan dan peta politik ibu kota. Saat itu, kami nyaris bicara bisik-bisik. Situasi memang sangat tidak baik.

Petrus Bima Anugrah, hilang pada 1 April 1998. Ia terakhir terlihat di Grogol, Jakarta Barat.
Petrus Bima Anugrah, hilang pada 1 April 1998. Ia terakhir terlihat di Grogol, Jakarta Barat.

Aku menitipkan laporan, hasil pengorganisasian massa selama satu minggu. Bima memberi segepok selebaran, dibungkus rapi memakai koran. Kami bersiap-siap berpisah.

Aku siap kembali ke habitatku. Mengarungi hari-hari penuh akrobat yang kalau kukenang hari ini, nyaris tak terbayang itu pernah kulewati.

Pager Bima bunyi. Tanda ia harus bergegas pergi.

"Aku musti jalan. Kamu hati-hati ya.."

Bima menjabat tanganku. Erat sekali. Rasanya, itu jabat tangan paling erat yang pernah kurasa. Tanpa kata-kata, kami tahu, kami saling menyemangati. Bahwa perjuangan ini akan menang. Bahwa Soeharto tak lama lagi tumbang. Kami berpisah.

Berhari-hari kemudian, tak lagi ada pager dari Bima. Biasanya, dia mengirim pesan via pager untuk mengatur pertemuan selanjutnya.

Hingga ketika terdengar kabar, Bima hilang. Diculik !! Bersama kawan-kawan yang lain. Hilang, dan tak pernah kembali.

Kini, 21 tahun kemudian, bahkan hingga ibunda tercintanya berpulang, dalam lelah menunggu kabar, Bima tak kunjung kembali.

Hari ini, aku mengenang jabat tangan dan cengar-cengirmu. Dua puluh satu tahun. Kalau kita masih bertemu, kita sama-sama tua dan beruban ya, Bim. Tapi kau masih Bima yang dulu. Hangat, baik hati.

Bima, aku masih sering kangen kamu. Kawan juang yang tiada banding. Semoga kau bahagia, Bim, di mana pun kau berada!

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI