Perjumpaan dengan kawan diatur sangat rapat, rahasia, komunikasi sangat ketat, hanya via kurir, lewat pager salome alias dipakai beramai-ramai.
Biasanya, dalam berkomunikasi, kami menelepon ke operator pager, menanyakan pesan terakhir kawan, dengan bahasa sandi—yang terkadang kalau lagi lapar dan galau—bisa luput-luput rumusnya.
Bima, kurir terbaik kami. Disiplin. Tak banyak mengeluh. Akhir Maret yang tak pernah kulupa sepanjang hidup, sempat janjian dengan Bima di halte Trisakti.
Siang hari, di halte Trisakti, situasi mencekam. Beberapa kawan hilang diculik. Menyaksikan dia muncul dengan topi dan celana kodok—yang itu-itu saja dikenakan—hati ini melesat.
Baca Juga: 'Bis Kota', Melawan Kopi Saset dari Utara Jakarta
Bertemu kawan, dalam keadaan hidup dan sehat, itu sudah berkah luar biasa.
“Sudah makan?” tanya Bima pertama kali. Itu pertanyaan khas kami. Bisa makan tiga kali sehari, itu kemewahan. Kami makan di pinggir jalan. Sayur segunung, telor dadar tebal dan lebar. Mewah luar biasa.
Kami lantas bercakap. Lewat Bima, aku dan kawan lain memperbarui kondisi organisasi, kondisi kawan dan peta politik ibu kota. Saat itu, kami nyaris bicara bisik-bisik. Situasi memang sangat tidak baik.
Aku menitipkan laporan, hasil pengorganisasian massa selama satu minggu. Bima memberi segepok selebaran, dibungkus rapi memakai koran. Kami bersiap-siap berpisah.
Aku siap kembali ke habitatku. Mengarungi hari-hari penuh akrobat yang kalau kukenang hari ini, nyaris tak terbayang itu pernah kulewati.
Baca Juga: Kaum Muda yang Memilih Cadar di Era Terorisme
Pager Bima bunyi. Tanda ia harus bergegas pergi.