Memoar Aktivis 98 yang Diculik (1): Senyum Terakhir Bima di Halte Trisakti

Reza Gunadha Suara.Com
Rabu, 22 Mei 2019 | 07:55 WIB
Memoar Aktivis 98 yang Diculik (1): Senyum Terakhir Bima di Halte Trisakti
[Suara.com/Ema Rohimah]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Namun Bima, dia duduk di sampingku. Dia Memijat-mijat tengkukku. Ia lantas menyodorkan teh manis, sambil cengar-cengir.

“Minum teh, jangan sakit. Besok pesta besar. Kita pasti menang…” tutur Bima sembari cengar-cengir. Tapi bagiku, sikapnya seperti itu saja cukup menenangkan.

Setelah aksi yang menggemparkan rezim itu, Bima dipindah oleh organisasi ke Jakarta, menyusun barisan perlawanan di ibu kota.

Sementara aku, tetap ditugaskan mengorganisasikan buruh di Surabaya, hingga akhirnya pecah peristiwa 27 Juli 1996—penyerangan aparat kepolisian dan preman terhadap kantor PDI yang dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri.

Baca Juga: 'Bis Kota', Melawan Kopi Saset dari Utara Jakarta

Seusai peristiwa Kudatuli itu, kami semua jadi buronan. Diburu setiap waktu. Diuber-uber hingga ke lubang tikus. Keluarga diteror. Kampus dan indekos kami disatroni tentara.

Melihat seragam polisi atau tentara saja, bisa bikin jantung lompat ke ubun-ubun. Mendengar raungan sirine ambulans seperti sudah bersiap masuk penjara, esok pagi.

Lalu, tibalah informasi itu kepadaku: Bima tertangkap di Jakarta. Dia ditangkap karena kedapatan menyebarkan selebaran Mega – Bintang – Rakyat. Bima dianggap menyebar selebaran ”gelap”.

Bima Petrus (kiri) Herny Sualang (tengah) dan Ilhamsyah Boing (kanan) saat keluar dari Mapolda DKI Jakarta, setelah ditangkap karena membawa selebaran perlawanan, tahun 1997. [dok.Ilhamsyah]
Bima Petrus (kiri) Herny Sualang (tengah) dan Ilhamsyah Boing (kanan) saat keluar dari Mapolda DKI Jakarta, setelah ditangkap karena membawa selebaran perlawanan, tahun 1997. [dok.Ilhamsyah]

Bima akhirnya ditahan di Polda Metro Jaya selama 60 hari. Bersama Bima, dua kawan lain, yakni Ilhamsyah dan Herny Suwalang juga ditahan.

Sementara, ada 13 kader dan pemimpin PRD (Partai Rakyat Demokratik—dinyatakan terlarang oleh Orde Baru) masih ditahan di Lapas Cipinang. Sementara tiga kawan kami juga ditahan di Surabaya.

Baca Juga: Kaum Muda yang Memilih Cadar di Era Terorisme

Masing-masing mereka sudah menerima vonis atas tuduhan subversif karena peristiwa 27 Juli 1996.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI