Suara.com - Ketua Setara Institute Hendardi menyebutkan aksi people power 22 Mei melalui mobilisasi pendukungnya merupakan tindakan yang secara konstitusional cacat prosedural.
Dalam konteks itu, unjuk rasa yang didorong oleh kekecewaan atas proses dan hasil Pemilu hanya perlu dibaca sebagai hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, bukan mekanisme demokratis tambahan untuk mengartikulasikan kedaulatan rakyat setelah pemungutan suara pada 17 April yang lalu.
"Sebab aturan main Pemilu tidak menyediakan prosedur jalanan untuk mempersoalkan hasil Pemilu," kata Hendardi di Jakarta, Selasa (21/5/2019).
Dengan perspektif tersebut, lanjut dia, maka pemerintah dan aparat keamanan seharusnya menjamin penikmatan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi biasa, sesuai dengan koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Baca Juga: Mobil Avanza yang Ditumpangi 6 Pendemo 22 Mei Terjaring Sweeping di Garut
Sesuai dengan regulasi yang relevan untuk itu, kata Hendardi, maka aksi demonstrasi dimaksud mesti dilakukan secara damai dengan tidak merusak tertib sosial, tertib politik, dan tertib hukum yang berlaku.
"Dengan demikian, setiap tindak pidana dan melawan hukum dalam aksi unjuk rasa tersebut harus direspons dengan penegakan hukum yang tegas, adil, dan memberikan efek jera," kata pegiat HAM ini.
Terkait hal itu, tambah dia, publik semestinya tidak menjadikan aksi dari sekelompok kecil warga pendukung (voters) itu sebagai aspirasi demo secara keseluruhan.
"Publik hendaknya tenang dan tidak terprovokasi dengan berita-berita bohong dan provokatif di media sosial, terutama dari dan yang mengatasnamakan tokoh-tokoh yang sesungguhnya bukan kontestan dalam perhelatan Pemilu, lebih-lebih mereka yang sejak awal memang nyata-nyata menjadi penumpang gelap Pemilu dengan menjadikan dukungan politik yang diberikan kepada kontestan sebagai alat bargaining dan negosiasi demi kepentingan politik dan ideologis kelompok dan jaringannya semata," ujarnya.
Kepada aparat keamanan, Hendardi mengingatkan untuk memperlakukan provokator-provokator sebelum dan pada saat aksi unjuk rasa tanggal 22 Mei sebagaimana provokator-provokator pada aksi demonstrasi pada umumnya.
Baca Juga: Polri Sebar 40 Ribu Personel Saat 22 Mei di Jakarta
"Penegakan hukum harus dilakukan terhadap mereka, lebih-lebih jika provokasi tersebut mengancam keselamatan pejabat negara seperti Presiden, membahayakan keamanan negara, mendelegitimasi pemerintahan negara, dan menghasut agar terjadi kerusuhan. Namun begitu, tindakan penegakan hukum atas mereka, seperti dalam bentuk penangkapan dan penahanan, harus dilakukan secara presisi berdasarkan atas bukti permulaan yang memadai," tegasnya.