Suara.com - Guru Besar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menyebut people power berbeda dengan revolusi atau kudeta yang biasanya dipimpin seorang tokoh sentral tanpa melibatkan massa yang besar.
Setelah rezim jatuh, kata Yusril, maka pemimpin revolusi otomatis mengambil alih kekuasaan.
Tulisan Yusril tersebut menanggapi isu people power yang digaungkan oleh Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno saat pengumuman hasil penghitungan suara Pemilu pada Rabu (22/5/2019), pekan ini.
"Berbeda dengan revolusi atau kudeta yang biasanya dipimpin seorang tokoh sentral tanpa melibatkan massa yang besar. Setelah rezim jatuh, maka pemimpin revolusi otomatis mengambil alih kekuasaan," kata Yusril seperti dikutip dari tulisan berjudul People Power Akhirnya Akan Mencari Legitimasi Konstitusional, Senin (20/5/2019).
Baca Juga: Tolak Penghitungan Suara, Yusril Tantang Prabowo Beberkan Bukti Kecurangan
Yusril pun mencontohkan Jenderal Ayyub Khan di Pakistan Tahun 1958 atau Kolonel Muammar Ghaddafi di Libya (1969) yang otomatis mengambil alih kekuasaan di negaranya dan membentuk kekuasaan baru dengan cara-cara revolusioner dan kemudian mereka mengumumkan konstitusi untuk memberi legitimasi pada kekuasaan mereka.
Karena itu kata dia, dari sudut hukum tata negara, apa yang dilakukan Jenderal Ayyub Khan di Pakistan dan Kolonel Moammar Ghaddafi di Libya dapat dikategorikan sebagai suatu kudeta, yakni pengambil-alihan kekuasaan secara revolusioner dengan menggunakan cara-cara di luar konstitusi yang berlaku. Kata Yusril, revolusi yang berhasil, dengan sendirinya menciptakan kekuasaan yang sah.
"Jika pemimpin revolusi berhasil mempertahankan kekuasaannya yang baru, maka kekuasaan baru itu menjadi sah secara konstitusional, meskipun awalnya mereka mengambil alih kekuasaan melalui cara-cara inkostitusional," katanya.
Namun, kata Yusril, runtuhnya kekuasaan Presiden Marcos, Presiden Sukarno dan Presiden Suharto yang terjadi bukan karena revolusi, tetapi terjadi melalui people power, maka penguasa baru memerlukan legitimasi konstitusional untuk menjalankan kekuasaan berdasarkan norma-norma konstitusi yang berlaku ketika itu.
"Pergantian Sukarno ke Suharto dan pergantian Suharto ke BJ Habibie berjalan secara konstitusional," kata dia.
Baca Juga: Cari Pertolongan, Lieus Sungkharisma Akan Temui Yusril Rabu Esok
Yusril mengatakan sangat sulit untuk membayangkan pada sebuah negara demokrasi, ada penguasa yang memegang kekuasaan dan menjalankan roda pemerintahan, sementara konstitusionalitas pemerintahannya terus-menerus dipertanyakan.