Suara.com - Sebuah artikel di laman media asing, Sydney Morning Herald, meminta calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto untuk menerima kenyataan dan kekalahannya lagi.
Tulisan dalam bentuk news analysis tersebut ditulis oleh wartawan Australila, James Massola. Artikel itu diunggah pada Senin 13 Mei 2019 sekitar pukul 17.01 waktu setempat.
Artikel itu berjudul "Indonesia's Prabowo must face reality and accept defeat. Again." atau jika ditranslasi menjadi "Prabowo mesti menghadapi kenyataan dan menerima kekalahan. Lagi."
James Massola juga membandingkan sikap Prabowo Subianto dengan pemilihan umum di Australia jika salah satu kontestan tidak menerima kekalahan.
Baca Juga: Update Real Count KPU: Selisih Jokowi dan Prabowo Tembus 16 Juta Suara
Berikut terjemahan lengkap dari artikel tersebut seperti dilansir SUARA.com dari laman situs Sydney Morning Herald, Sabtu (18/5/2019):
Dalam 9 hari ke-depan (sejak artikel diunggah--RED), Komisi Pemilihan Umum (KPU) Indonesia bakal merilis hasil resmi dari pemilihan presiden dan legislatif 2019.
Sebelumnya, sejumlah lembaga survei bereputasi telah merilis hasil hitung cepat setelah hari pemungutan suara pada 17 April 2019. Hasilnya calon presiden petahana Joko Widodo mengalahkan penantangnya, Prabowo Subianto dengan baik. Perkiraan margin bervariasi antara 8 hingga 10 persen.
Kini (saat artikel ditulis--RED), angka resmi sedang bergulir. Dengan suara keseluruhan yang masuk sebesar 78,57 persen pada Senin pagi, Jokowi menikmati keunggulan yang lebih besar lagi dari 56 hingga 44 persen dalam hitungan tersebut.
Angka itu hampir dua kali lipat dari margin poin yang didapat Jokowi mengalahkan Prabowo dalam Pemilihan Umum 2014 silam.
Baca Juga: ADKASI ke Prabowo: Jangan Cuma Pilpres, Tolak Pileg Berani Enggak?
Sejauh ini (saat artikel ditulis--RED), Jokowi meraih 67,6 suara. Sementara Prabowo meraup 52,6 suara. Selisihnya 15 juta suara.
Tapi, seperti di 2014, Prabowo menolak hasil tersebut. Pada hari pemungutan suara, dia mendeklarasikan kemenangan dan mengklaim menang dengan 62 persen suara.
Dari sudut pandang seorang Australia, hampir tidak dapat dibayangkan jika Scott Morrison atau Bill Shorten menolak untuk menerima deklarasi hasil resmi setelah jajak pendapat Sabtu ini.
Tapi, itulah yang terjadi di Indonesia saat ini.
Indoensia baru menjadi negara demokrasi selama kurun 21 tahun. Masyarakat pun mendukung demokrasi secara antusias. Ini terbukti dari dari angka partisipasinya yang melonjak hingga 80 persen.
Namun, Prabowo dan tim kampanyenya kini menuduh kesalahan entri data di setidaknya 73.100 TPS (tempat pemungutan suara--RED).
Mereka mengklaim bahwa 6,7 juta orang tidak mendapat undangan untuk memilih dan petahana telah menggunakan alat negara untuk keuntungannya. Misalnya, dua pendukung Prabowo menghadapi dakwaan makar karena mengklaim hasil pemilu itu curang.
Aksi protes dalam skala kecil telah digelar, salah satunya di luar Bawaslu atau Badan Pengawas Pemilu, Jumat kemarin.
Sementara, demonstrasi lebih besar membayangi dengan seruan untuk protes 'kekuatan rakyat' (people power--RED) yang datang dari para pendukung Prabowo (meski bukan dari kandidat itu sendiri).
Tantangan terhadap hasil pemilu diprediksi juga akan segera terjadi di Mahkamah Konstitusi, seperti pada 2014 silam. Namun, tantangan saat itu gagal dan, peluang sukses Prabowo untuk lima tahun mendatang tipis.
Dalam sebuah wawancara dengan The Sydney Morning Herald dan The Age Jumat (10/5) lalu, pasangan calon wakil presiden Prabowo, Sandiaga Uno--mantan Wakil Gubernur Jakarta, dan menurut Forbes, salah satu orang terkaya di Indonesia--mengonfirmasi bahwa tantangan ke pengadilan masih tetap dipertimbangkan.
“Kita harus melihat argumen hukumnya,” kata dia, sambil menambahkan bahwa akan sangat sulit bagi oposisi untuk mendapatkan pengadilan yang adil, dan menolak anggapan bahwa memperdebatkan hasil pemilu bisa merusak demokrasi Indonesia.
"Ini justru akan memperkuat demokrasi di Indonesia, karena kami memastikan bahwa di pemilihan berikutnya yakni 2024, tidak akan ada lagi praktik kotor demokrasi, pengerahan aparatur negara, penyalahgunaan sumber daya negara, penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga penegak hukum," kata dia.
Setelah kinerja yang kuat selama kampanye Pilpres 2019, Sandi kini banyak disebut-sebut sebagai kandidat presiden pada 2024--ketika itu Jokowi tidak akan bisa mencalonkan diri kembali.
Sandi enggan berbicara soal itu. Dia mengatakan, "Saya telah belajar dalam tugas singkat saya dalam politik untuk tidak merencanakan terlalu jauh ke depan."
"Yang pasti adalah bahwa saya akan terus menghabiskan waktu saya dengan masyarakat Indonesia."
Pria berusia 49 tahun yang mengenyam pendidikan di Amerika Serikat dan sopan ini berada dalam masa-masa sulit. Dia harus terlihat mendukung Prabowo dalam periode pascapemilu ini, terutama jika dia menginginkan dukungan politik dari partai Gerindra Prabowo pada 2024.
Tapi, Sandi juga berisiki merusak citra politiknya jika dia terlalu keras memprotes hasil pemilu dan menyejajarkan dirinya terlalu dekat dengan protes yang dilayangkan Prabowo.
Yang jauh lebih jelas, yakni masa depan bagi Prabowo, mantan jenderal militer berusia 67 tahun yang lama merasakan bahwa sudah menjadi takdirnya menjadi Presiden Indonesia.
Pada 22 Mei nanti, ketika hasil pemilu diumumkan--kecuali adanya perubahan ajaib dalam penghitungan suara--dia akhirnya, dengan terhormat, harus mengakui kekalahan.