“Kita harus melihat argumen hukumnya,” kata dia, sambil menambahkan bahwa akan sangat sulit bagi oposisi untuk mendapatkan pengadilan yang adil, dan menolak anggapan bahwa memperdebatkan hasil pemilu bisa merusak demokrasi Indonesia.
"Ini justru akan memperkuat demokrasi di Indonesia, karena kami memastikan bahwa di pemilihan berikutnya yakni 2024, tidak akan ada lagi praktik kotor demokrasi, pengerahan aparatur negara, penyalahgunaan sumber daya negara, penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga penegak hukum," kata dia.
Setelah kinerja yang kuat selama kampanye Pilpres 2019, Sandi kini banyak disebut-sebut sebagai kandidat presiden pada 2024--ketika itu Jokowi tidak akan bisa mencalonkan diri kembali.
Sandi enggan berbicara soal itu. Dia mengatakan, "Saya telah belajar dalam tugas singkat saya dalam politik untuk tidak merencanakan terlalu jauh ke depan."
Baca Juga: Update Real Count KPU: Selisih Jokowi dan Prabowo Tembus 16 Juta Suara
"Yang pasti adalah bahwa saya akan terus menghabiskan waktu saya dengan masyarakat Indonesia."
Pria berusia 49 tahun yang mengenyam pendidikan di Amerika Serikat dan sopan ini berada dalam masa-masa sulit. Dia harus terlihat mendukung Prabowo dalam periode pascapemilu ini, terutama jika dia menginginkan dukungan politik dari partai Gerindra Prabowo pada 2024.
Tapi, Sandi juga berisiki merusak citra politiknya jika dia terlalu keras memprotes hasil pemilu dan menyejajarkan dirinya terlalu dekat dengan protes yang dilayangkan Prabowo.
Yang jauh lebih jelas, yakni masa depan bagi Prabowo, mantan jenderal militer berusia 67 tahun yang lama merasakan bahwa sudah menjadi takdirnya menjadi Presiden Indonesia.
Pada 22 Mei nanti, ketika hasil pemilu diumumkan--kecuali adanya perubahan ajaib dalam penghitungan suara--dia akhirnya, dengan terhormat, harus mengakui kekalahan.
Baca Juga: ADKASI ke Prabowo: Jangan Cuma Pilpres, Tolak Pileg Berani Enggak?