3 Alasan Perempuan Kini Jadi Teroris dan Beraksi Bom Bunuh Diri

Kamis, 16 Mei 2019 | 13:02 WIB
3 Alasan Perempuan Kini Jadi Teroris dan Beraksi Bom Bunuh Diri
Salah seorang anggota polisi bersenjata lengkap saat penggeledahan Tim Densus 88/Antiteror Polri. [Antara/M N Kanwa]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Untuk mengantipasi masalah ini, pihak pemerintah didorong untuk memberikan penanganan yang berbeda bagi bagi masyarakat yang tidak terpapar, yang rentan dan yang sudah terpapar. Menurut Riri Khariroh, cara program deradikalisasi yang dilakukan BNPT selama ini kurang tepat.

“Kalau yang sudah sangat terpapar, intervensinya harus berbeda juga. Selama ini program deradikalisasi lebih banyak dengan isu agama saja, kan gak bisa. Kita harus lihat ini manusia, harus disentuh dengan teorinya heart, hand, head. Jadi heart dulu, approach with your heart. Kamu simpati ajak dialog, ajak bicara. Hand dengan tolong dia misalnya beri dia pertolongan. Baru setelah itu sasar head-nya. Karena kalau deradikalisme yang dulu-dulu kan langsung didatangi ustad ini itu, ya mental lah. Orang ustad bukan bagian dari kita. Jadi yang seharusnya disasar bukan ideologinya dulu tapi heart-nya dulu,” paparnya.

Menurutnya untuk menekan angka terorisme, pemerintah – melalui BNPT – perlu bekerjasama dengan sejumlah pihak untuk mengevaluasi cara-cara yang selama ini dilakukan untuk penanggunglangan terorisme ini secara komprehensif. Karena selama ini, program-program yang ada cenderung hanya mengulang dan tidak ada inovasi sama sekali.

Dalam kesempatan yang sama, editor sekaligus cowriter buku “Perempuan dalam Terorisme” Khoirul Anam mengatakan temuan di lapangan, ketika mewawancarai istri dari para pimpinan terorisme ini, adalah bahwa para perempuan ini mengalami ketidaksetaraan dalam rumah tangga antara suami dan istri.

Baca Juga: Terduga Teroris di Nganjuk Dibekuk Densus 88 Saat Beli Pulsa

Temuan kedua adalah kuatnya ajaran bahwa istri punya tanggung jawab untuk mendengar dan mematuhi apa pun kata suami. Sementara temuan ketiga adalah para perempuan tersebut tidak sadar bahwa ketika sudah mengikuti paham radikalisme, mereka tidak lagi mau menyapa para tetangganya yang tidak memakai jilbab, dan sebagainya. Bagi para perempuan ini, hal itu biasa saja. Mereka bahkan menilai tidakan suaminya melakukan teror tidak salah dah hanya menjalani ajaran agama.

“Kedua ini kan istri pimpinannya. Pimpinan pertama itu suaminya Humaira, di tembak polisi meninggal, digantikan kekuasaannya oleh suami Ummi Yazid. Dua ini yang bisa berbicara banyak tentang aksi suaminya," jelas Anam.

"Tapi meski begitu, mereka 'gak ngerti aktivitas suaminya apa, termasuk ketika kami (melontarkan) pertanyaan, 'Ummi setuju gak dengan apa yang dilakukan oleh Abi?' Ia jawab 'Setuju, Abi orangnya baik kok.' Kami tanya lagi, 'Ummi tahu gak kalau Abi pernah menyembelih orang? Menyembelih petani di Poso.' Dia bilang. 'saya 'gak tahu, Abi juga gak cerita. Saya yakin, Abi hanya menjalankan perintah agama,” demikian imbuh Anam.

Menyikapi meningkatnya peran perempuan dalam terorisme, menurutnya, justru selain perempuan, pemerintah juga harus menaruh perhatian kepada pihak laki-laki dan anak-anak yang terlibat. Karena menurutnya, laki-laki mengambil peran utama dalam aksi terorisme ini dengan mengajak serta para istri mereka.

“Orang semua mengira ketika perempuan terlibat radikalisme dan terorisme programnya harus menyasar ke perempuan. Bagi saya masalahnya bukan di perempuan, masalahnya ada di laki-lakinya. Jadi programnya seharusnya fokus ke laki-laki dan ke anak. saya khawatir anak yang lahir dan besar di penjara. Untuk kasus terorisme ada banyak sekali perempuan dengan kondisi hamil dan melahirkan di penjara, lalu anaknya sampai beberapa tahun ada dipenjara. Saya khawatir anak-anak itu akan mewarisi kebencian orang tuanya, nah itu yang perlu segera ditemukan jalannya,” jelas Anam.

Baca Juga: Saat Layani Pembeli Cupang, Terduga Teroris di Kudus Ditangkap Densus 88

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI