Yang menjadi sangat panas dan setiap saat bisa berubah menjadi ledakan politik, bahkan krisis, saat ini para pendukung Prabowo yang “die hard” sangat meyakini bahwa Prabowo menang 62%. Mereka juga bersumpah akan melakukan jihad, siap mengorbankan jiwa dan raganya, jika pada tanggal 22 Mei 2019 nanti KPU menyatakan Jokowi sebagai pemenang, dan bukan Prabowo. Sementara, para pendukung Jokowi lebih “tenang” karena mereka sangat yakin bahwa KPU akan memenangkan jagonya.
Pertanyaannya kemudian, siapa yang sebenarnya menang? Kalau kita taat proses dan taat aturan, saat ini belum ada yang tahu. Tunggu pengumuman KPU. Tetapi kalau kita kuat dalam logika dan belajar dari pengalaman pemilu-pemilu di masa lalu, dengan cara merujuk hasil “quick count” dari hampir semua lembaga survey, Jokowilah yang hampir pasti menjadi pemenangnya. Tentu dengan asumsi, tidak ada kesalahan dalam penghitungan suara, baik melalui “quick count” maupun “real count” KPU. Nah disinilah persoalan lain muncul, karena kubu Prabowo tidak percaya pada semua hasil “quick count” yang memenangkan Jokowi dan juga tidak percaya “real count” yang dilakukan KPU. KPU juga dituduh melakukan kecurangan.
Lantas apa tidak ada jalan untuk membuktikan apakah pemilu ini jujur atau curang?
Sebenarnya ada dan tersedia. Baik konstitusi kita, UUD 1945, dan undang-undang kita, Undang-Undang Pemilu 2017, memberi ruang, jalan dan peluang jika ada sengketa dalam pemilu. Jika menyangkut proses, Bawaslulah yang akan menyelesaikan. Sedangkan jika menyangkut hasil, MK-lah yang berwenang untuk memutusnya. Namun, dalam kaitan ini ada juga permasalahannya. Kubu Prabowo nampaknya juga tidak yakin baik Bawaslu maupun MK akan berlaku adil dan tidak dipengaruhi oleh pihak yang berkuasa. Apalagi terhadap aduan pihak Prabowo yang dibawa ke Bawaslu hingga saat ini belum ada “pernyataan strategis” yang bisa melegakan pihak Prabowo, ataupun rakyat secara keseluruhan, bahwa Bawaslu akan serius dan adil dalam memproses dan menyelesaikan aduan-aduan pemilu, utamanya yang dibawa oleh kubu Prabowo.
Disinilah pentingnya kejujuran.
Baca Juga: Hari Terakhir Pleno KPU Banten, Saksi Demokrat Walk Out
Kejujuran semua pihak sangat diperlukan, agar kebenaran dan keadilan benar-benar tegak di negeri ini.
Prabowo harus jujur, benarkah dia punya bukti nyata dan kuat bahwa dirinya menang 62%. Kalau tidak dosanya luar biasa. Karena, akibat pernyataan Prabowo itu jutaan orang meyakini dan bahkan siap mati untuk membela Prabowo, jika dia dinyatakan kalah oleh KPU. Bayangkan kalau jutaan orang itu nanti benar-benar nekad, melakukan perlawanan fisik dan akhirnya menjadi korban karena mempertahankan keyakinan yang salah, siapa yang bertanggung jawab? Tentu Prabowo. Boleh saja dia mengkambing hitamkan pihak-pihak yang memberikan data atau bukti “kemenangan 62% itu”, tetapi tidakkah sebagai calon Presiden Prabowo mesti memiliki “judgement” atas dasar logika dan akal sehat, serta kecermatan dan kehati-hatian sebelum melakukan tindakan? Mudah-mudahan kenekadan para pendukung Prabowo tersebut tidak terjadi. Banyak pihak yang merasa lega, karena hari-hari terakhir ini tidak ada tanda-tanda kuat bahwa hal buruk itu akan terjadi.
Sejumlah testimoni yang didapat dari kalangan yang mengusung Prabowo dalam Pilpres 2019 ini menyampaikan bahwa mereka juga meragukan data dan bukti yang dimiliki Prabowo menyangkut angka 62% tersebut. Bahkan konon SBY, yang partainya juga mengusung Prabowo, hingga saat ini belum bisa diyakinkan bahwa Prabowo benar-benar menang 62%. SBY, yang kuat dalam logika, cermat dan berhati-hati untuk membenarkan atau tidak membenarkan sesuatu, juga seorang yang kenyang dalam dunia pilpres baik sebagai capres (dua kali), sebagai Presiden ketika pilpres dilakukan (dua kali) dan saat ini berada diluar kekuasaan, tentu tak mungkin disuruh membebek dan membela secara membabi buta capres yang diusungnya itu kecuali akal sehat dan hati nuraninya meyakini klaim kemenangan Prabowo yang 62% itu kuat dan benar.
Jokowi dan para pemimpin negara dan pemerintahan juga harus jujur. Benarkah pemilu ini tak ada kecurangan sama sekali. 100% jujur dan adil. Benar atau tidak benar tuduhan yang dilontarkan berbagai pihak, terutama tentunya yang berasal dari kubu Prabowo, bahwa terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan lembaga-lembaga negara, pusat maupun daerah, termasuk TNI, Polri dan BIN, penyimpangan penggunaan keuangan negara, utamanya BUMN-BUMN, dan penyalahgunaan lembaga-lembaga penegak hukum yang semuanya bertujuan untuk memenangkan Jokowi dan partai-partai politik tertentu. Kalau semua tuduhan itu isapan jempol, tak terjadi sama sekali, rakyat bersyukur bahwa pemilu ini benar-benar jujur dan adil. Pihak Prabowopun tak perlu sengit dan memvonis bahwa Pemilu 2019 ini curang. Semua harus tunduk pada bukti.
Banyak yang berpendapat jika memang Jokowi dalam pemungutan suara tanggal 17 April 2019 yang lalu mendapatkan suara yang lebih besar daripada suara Prabowo, maka tak boleh dihalang-halangi untuk memimpin Indonesia lagi 5 tahun mendatang. Itu merupakan hak sejarah Jokowi. Namun, jika memang terbukti telah terjadi penyimpangan dan kecurangan dalam rangkaian pemilu, bukan hanya pemungutan dan penghitungan suara semata, dan sekalipun kecurangan itu tidak berkategori terstruktur, sistematis dan masif, tetaplah para pelakunya harus diberikan sanksi. Hukuman harus diberikan. Itulah makna keadilan dalam pemilu. Kalau semua penyimpangan, kesalahan dan kecurangan itu diabaikan, masa depan pemilu dan demokrasi kita akan buruk. Bisa-bisa itu dianggap biasa (new normal) dan bahkan bisa makin menjadi-jadi nantinya.
Baca Juga: Sandiaga Sayangkan Ucapan Wakil Ketua Umum Gerindra yang Usir Demokrat
Jika Allah menakdirkan Jokowi memimpin Indonesia lagi, pastilah dia ingin sukses dan turun dari jabatannya secara baik. Kalau urusan “pemilu ini curang” dan “pemilu ini jujur” tidak diselesaikan dengan baik, legitimasi Jokowi pada periode kedua jabatannya sebagai Presiden tentulah tidak kuat. Rasa tidak percaya (mistrust) rakyat akan tinggi dan dukungan rakyat kepadanya juga akan rendah. Kita tidak ingin pemerintahan mendatang tidak bisa bekerja dengan baik.