Kaum Milenial Banyak Ateis dan Agnostik, Bagaimana Puasa Ramadan Menjawab?

Reza Gunadha Suara.Com
Senin, 06 Mei 2019 | 16:34 WIB
Kaum Milenial Banyak Ateis dan Agnostik, Bagaimana Puasa Ramadan Menjawab?
Ilustrasi puasa Ramadan. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - "I am agnostic now. Sorry, I am not into about religion", kalimat itu sudah mulai sering didengar dari obrolan generasi milenial.

Bagi mereka, agama cukup sebagai identitas untuk kepentingan kependudukan, Just for identity. Mereka lebih menyukai menjadi orang yang meyakini Tuhan tanpa amalan agama. Ya, hanya percaya sama Tuhan, an sich.

Pada era yang serba teknologis ini, berkeyakinan bukan semata pilihan privasi individu, tapi sudah menjadi bagian dari gaya hidup alias lifestyle.

Berbeda dengan dulu, orang memeluk suatu agama sebagai pilihan sosial yang membanggakan. Apalagi memeluk suatu agama selalu dikaitkan dengan struktur sosial, khususnya relasi ekonomi-politik.

Baca Juga: MUI Tak Akan Protes Jika Ada Rumah Makan yang Buka Selama Puasa

Kini, zaman telah berubah seiring dengan perkembangan pola pikir dan kecenderungan hidup masyarakat. Beragama secara formal dengan rangkaian ritualnya dianggap telah usang alias jadul.

Seorang tokoh antagonis seperti Osama bin Laden (pemimpin Al Qaedah), Abu Bakr Al-Baghdadi (pentolan ISIS) dan George W Bush (mantan presiden AS) memiliki jasa besar menjadikan agama tampak jauh lebih usang bagi masyarakat modern.

Ya, ada kecenderungan masyarakat modern memandang orang beragama sudah usang. Kurang menarik. Menurut mereka, orang beragama sering menampakkan perilaku yang kurang bersahabat dengan sesama. Saling mencaci, menghina, menyakiti, bahkan saling serang dan baku hantam muncul karena alasan agama.

Coba deh gaes kamu tengok sejarah, ada kritik keras dari filosof asal Jerman, Friedrich Nietzsche terhadap orang beragama. Satu kalimat menohok yang menghebohkan seluruh penghuni bumi adalah "God is dead", Tuhan telah mati.

Nietzsche mengkritik nilai-nilai keberagamaan (Kristen saat itu) yang dipengaruhi oleh ajaran Plato. Nietzsche menganggap kekristenan mengajarkan orang untuk menolak, membenci, dan melarikan diri dari kehidupan di dunia ini demi suatu mitos "dunia nyata" yang imajiner.

Baca Juga: Catat, 6 Kunci Tetap Sehat dan Bugar Selama Puasa

 Nietzsche menuduh para tokoh agama sebagai pengajar-pengajar maut, karena membuat orang berpindah fokus dari hidup ke kematian. Kematian dipahami sebagai syarat manusia menuju ke "alam sempurna".

Kritik Nietzsche tersebut bisa dimaklumi, karena memang dia penganut atheisme. Penganut paham yang tidak percaya terhadap adanya Tuhan.

Cara pandangnya bisa jadi disebabkan oleh pandangan filsafat yang dikonfirmsi atas penglihatannya terhadap orang-orang beragama yang tidak menunjukkan idealitas nilai.

Seiring perkembangan zaman, di mana arus modernisme telah melanda di semua lini kehidupan , justru terjadi kekeringan spiritual.

Muncul banyak persoalan-persoalan psikologis, seperti stres dan depresi karena tekanan hidup yang bertumpu pada uang dan hedonisme.

Akibat dari itu, lalu masyarakat modern kehilangan arah hidup dan mencoba mencari The Other (Tuhan) sebagai sandaran hidup melalui jalan-jalan spiritualisme.

Namun, "kembalinya" kesadaran mereka bukan kepada agama-agama dengan segala perangkatnya, tetapi pada sistem keyakinan kepada Tuhan.

Hanya meyakini bahwa Tuhan itu ada, bukan pada agama (religion). Itulah yang kemudian disebut "agnostisisme".

Gaes, ini kita sedang berada pada periode zaman ketika popularitas atheisme telah runtuh bersamaan dengan robohnya komunisme, seperti bubarnya Uni Soviet. Pada masa ini, paham agnostisisme menjadi pilihan yang dianggap paling rasional dan juga seksi.

Agnostisisme adalah gaya hidup masa kini. Orang akan merasa "lebih intelektual" bila ia mengaku sebagai agnostik.

Sementara penganut atheisme sekarang justru dinilai tidak menarik lagi. Ide-ide atheisme justru seperti tidak laku.

Upaya Richard Dawkins yang dicap sebagai pemberontak pada kaum atheis pun tak lagi menarik hati kaum muda. Intinya, mengaku atheis sama ketinggalan zamannya dengan mengaku Marxisme.

Dari sudut pandang lifestyle kaum milenial, paham atheisme dinilai a-historis, sudah tidak keren dan relevan lagi.

Nah, apa sih yang membuat agnostisisme ini mewabah pada generasi milenial? Yups, kaum milenial yang memiliki watak instan, cepat, kreatif, membutuhkan saluran spiritual yang mengarah pada inti hubungan diri dengan Tuhan. Agama dengan segala tools-nya dianggap tidak/kurang efektif dan efisien lagi.

Bagi mereka, memahami bahwa Tuhan itu ada sehingga bisa menjadikan dirinya baik, lebih tenang, memiliki "sense" atas solidaritas sosial dan kebaikan manusiawi lainnya itu sudah cukup. Mereka lebih memilih menjadi agnostik tanpa menjadi penganut sebuah agama.

Menurut kacamata mereka, agama bukanlah penjamin surga. Agama hanya akan menjadi kendaraan dalam garasi jika itu hanya tercatat pada sebuah KTP. Tanpa bahan bakar yang baik, kendaraan hanyalah seonggok besi yang tidak dapat mengantarkan kita ke tempat tujuan.

Agama tanpa pikiran, perkataan dan perbuatan yang baik tidak akan mengantarkan kita menuju surga. Jika orang-orang yang mengaku memiliki agama merasa jauh lebih budiman dibandingkan para Agnostik, lantas mengapa masih banyak ditemukan orang-orang yang rajin beribadah bahkan memiliki gelar keagamaan sekalipun yang masih berbuat hal-hal tidak terpuji?

Itulah pertanyaan-pertanyaan yang menjadi kegelisahan orang-orang Agnostik. Mereka lebih menekankan pada behavior atau budi pekerti yang baik, memiliki toleransi tinggi, empati kepada sesama, lebih sabar, pemaaf, dan lain-lain. Intinya mereka lebih melihat ke dalam diri dibandingkan dengan baju besar agama yang belum tentu menjadi individu yang baik.

Lalu Apa Sikap Kita?

Fenomena "Agnostic Style" yang dipicu oleh penampilan luar orang beragama sesungguhnya bisa dijawab oleh Islam. Jika ada orang Islam yang mudah marah, intoleran, suka menghina dengan ujaran kebencian, berperilaku kasar, dan berakhlak buruk pasti ada yang salah dalam cara mereka berislam.

Islam sesungguhnya bisa menjawab "kegelisahan" masyarakat modern itu. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad, selain mengajarkan aspek lahir dengan rangkaian ritualnya, seperti salat, puasa, zakat, haji, dan  lain-lain, juga menekankan aspek batin melalui jalan spiritual untuk membentuk perilaku (akhlak) dan kedekatan kepada Tuhan.

Di balik aspek ritual dalam Islam sesungguhnya mengandung unsur-unsur batin. Jadi bukan semata ucapan dan gerakan tanpa makna. Dengan salat, misalnya, manusia diajarkan bagaimana memiliki ketundukan total kepada Tuhan, sehingga tidak muncul sikap congkak, tetap taat pada ajaran Tuhan, memiliki jiwa yang lembut dan sopan, jujur, dan lain-lain.

"Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (QS: Al Ankabut: 45).

Demikian juga puasa, di mana setiap muslim harus berpuasa di bulan Ramadan untuk menyucikan jiwanya. Puasa bukan sebatas menahan lapar, haus, dan hal-hal yang membatalkan, tetapi ada tujuan utamanya, yaitu takwa (QS: Al-Baqarah:183).

Beberapa implementasi takwa dari puasa adalah kemampuan untuk menahan amarah, bersikap jujur, sabar, dan memiliki empati kepada golongan papa.

Itu baru dua contoh ibadah dalam Islam, dan semua rangkaian ibadah dalam Islam memiliki tujuan yng komprehensif untuk membentuk akhlak yang paling mulia. Belum lagi amalan-amalan yang bersifat olah batin (riyadhah) melalui jalan sufi.

Banyak orang-orang modern yang pada akhirnya menempuh jalan sufi (mistisisme Islam) karena memberi jawaban yang konkrit dan lengkap atas kebutuhan spiritualisme manusia.

So, buat kamu gaes, tidak perlu lah galau lalu memilih untuk menjadi agnostik mania. Sumpah deh, itu bukan solusi. Jadilah diri sendiri dengan tetap menjalani agamamu dengan baik.

Jika ada yang dirasa kurang "sreg", mungkin kamu bisa mencari orang yang tepat (memiliki ilmu agama yang mendalam) untuk bertanya agar cara beragama kamu benar dan lurus, mampu membangun akhlak yang mulia, dan tetap menjadi muslim yang cool dan menyenangkan.

****

Thobib Al-Asyhar

Thobib adalah penulis buku, dosen Psikologi Islam Sekolah Kajian Strategik dan Global, Universitas Indonesia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI