Suara.com - Masjid Agung Kauman Semarang memiliki jejak yang kuat dalam sejarah penyebaran Islam pertama kali di Semarang.
Beberapa jejak sejarah ditorehkan pada masjid yang didirikan pertama di Semarang, dan dibangun oleh arsitek asal Belanda sebagai hadiah kepada Sunan Pandanaran, Tumenggung Karesidenan Semarang kala itu.
Masjid Agung Kauman memiliki sejarah andil dalam pergerakan kemerdekaan Republik Indonesia. Menjadi satu-satunya masjid di Indonesia yang mengumumkan kemerdekaan Indonesia secara terbuka, setelah beberapa saat diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta.
Di Masjid Agung Kauman pula, calon presiden Prabowo Subianto sempat ditolak keras untuk melaksanakan salat Jumat, karena bertepatan dengan kampanye Pemilu 2019.
Meski akhirnya pengurus Masjid Agung Kauman memperbolehkan dengan syarat tanpa embel-embel kampanye.
Namun dari sisi historis panjangnya, Masjid Agung Kauman erat kaitannya dengan tradisi budaya penentuan awal puasa Ramadhan, yang disebut Dugderan.
Di mana dahulu kala, Tumenggung atau pemimpin daerah Semarang, Tumenggung Aryo Purboningrat, menemui para kyai dan ulama untuk berhalaqah atau mendiskusikan penentuan awal puasa.
Melalui halaqah atau diskusi tersebut, kemudian menghasilkan suatu keputusan beserta pesan-pesan kebaikan dari para ulama untuk diumumkan kepada seluruh warga Semarang.
Sebagai tanda pengumuman tersebut, karena saat itu masjid belum ada pengeras suara maka digunakanlah sebuah bedug dan petasan besar dibunyikan.
Baca Juga: Prabowo Tunda Jenguk Ani Usai AHY Bertemu Jokowi, Demokrat: Jangan Ngambek
Dugderan berasal dari kata 'dug' dari bunyi bedug yang ditabuh, dan 'der' dari bunyi petasan yang dinyalakan.
Pun hal yang sama saat ini dilakukan oleh Pemkot Semarang, prosesi Dugderan menjelang bulan Ramadan tahun 1440 H itu, Walikota Semarang atau Tumenggung Aryo Purboningrat, Hendrar Prihadi dan Wakil Walikota Semarang Hevearita G Rahayu, melakukan halaqah atau diskusi dengan ulama di Masjid Agung Kauman untuk menetapkan awal pelaksanaan ibadah puasa, Sabtu (4/5/2019).
Gelaran Dugderan tiap tahun itu dibuat lebih meriah dengan arak-arakan pawai simbol Dugderan seperti Warak Ngendhog, kembang Manggar, dan kesenian tradisional dari tiga budaya etnis, ada Jawa, Arab, dan China.
Hasil halaqah tersebut kemudian diarak oleh Tumenggung Aryo Purboningrat bersama warga Semarang dari Masjid Agung Kauman menuju Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) untuk diserahkan kepada Kanjeng Mas Raden Tumenggung Probo Hadikusumo atau Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo.
Oleh Kanjeng Mas Raden Probo Hadikusumo, menjelang Magrib hasil halaqah tersebut diwartakan kembali kepada masyarakat bahwa bulan Suci Ramadan telah tiba.
Dalam pesan halaqahnya, Tumenggung Probo Hadikusumo atau Ganjar Pranowo berharap berkumpulnya orang merayakan tradisi ini dipenuhi dengan pesan-pesan baik agar nanti ketika memasuki Ramadan hatinya, pikiran perkataan dan tindakannya bersih.
"Setiap tahun hasil halaqah ulama ini juga terus dibacakan. Mari kita memanfaatkan momentum Ramadan ini untuk berbuat baik, berkata baik, mari kita sambung lagi silaturahmi," ucap Ganjar.
Ganjar juga bangga terhadap warga yang masih ingat dan selalu menunggu moment Dugderan baik di Masjid Kauman atau di Masjid Agung Jawa Tengah.
"Masyarakat sekarang berkumpul semuanya menunggu cerita yang sudah ratusan tahun. Ternyata masyarakat sangat antusias menunggu Ramadan dan mereka juga tahu sejarah Dugderan, dug itu suara bedug, der itu suara mercon atau bom udara. Maka ini menjadi tradisi yang dinantikan masyarakat Semarang," katanya.
Menutup halaqahnya, Tumenggung Probo Hadikusumo berulang-ulang memukul bedug yang diikuti bunyi 'Der' dari petasan. Sorak Sorai dan tepuk tangan masyarakat pun langsung menggema di pelataran masjid berpayung raksasa itu.
Kontributor : Adam Iyasa