Suara.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir sebagai tersangka kasus suap proyek pembangunan PLTU Riau-1.
Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ke KPK, Sofyan Basir diketahui memiliki harta sebesar Rp 119.962.588.941. Harta Rp 119,9 miliar itu dilaporkan Sofyan pada 31 Juli 2018.
Saat wartawan Suara.com melakukan pengecekan dari laman daring acch.kpk.go.id, Sofyan memiliki harta tak bergerak berupa tanah dan bangunan sebanyak 16 aset yang tersebar di Jakarta Pusat, Tanggerang, dan Bogor dengan nilai Rp 37.166.351.231.
Sementara harta bergerak Sofyan memiliki lima mobil mewah, yakni Toyota Alphard, Toyota Avanza, Honda Civic, Mobil BMW, dan Mobil Land Rover Range Rover. Untuk lima mobil tersebut dengan nilai total Rp 6.330.596.000.
Baca Juga: Kasus Suap Air Minum KemenPUPR, KPK Sita 2 Ruko Milik Tersangka
Kemudian untuk harta bergerak lainnya yang tak disebutkan dengan nilai Rp 10.276.000.000. Selanjutnya surat berharga Rp 10. 313.000.000. Untuk kas dan setara kas dengan nilai Rp 55.876.641.710.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan penetapan tersangka Sofyan Basir berdasrkan pengumpulan sejumlah bukti maupun fakta-fakta persidangan dalam kasus yang telah menjerat beberapa terpidana, contohnya seperti Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Eni Maulani Saragih, mantan Menteri Sosial Idrus Marham, dan Bos Blackgold Natural ResourceJohannes B. Kotjo.
"KPK menemukan bukti permulaan yang cukup tentang dugaan keterlibatan pihak lain dalam dugaan tindak pidana korupsi suap terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1," kata Saut Situmorang saat jumpa pers di gedung KPK, Jakarta, Selasa (23/4/2019).
Awal penyidikan terhadap Sofyan telah dilakukan KPK sejak sekitar Oktober tahun 2015 silam, ketika Direktur PT Samantaka Batubara mengirimkan surat pada PT PLN (Persero) agar PT PLN memasukan proyek PLTU Riau, ke dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.
Dalam kasus ini, Sofyan Basir dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dlubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsijuncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 ayat (2) KUHP Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Baca Juga: Penyidik KPK Cecar Sekjen DPR Soal Jabatan Rommy di Komisi XI