Suara.com - Komitmen Indonesia terhadap pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam (SDA) telah membuahkan hasil. Pada 2015 – 2019, Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menangani 21 gugatan perdata dan 10 putusan sudah inkracht dengan nilai Rp 19,4 triliun.
Selain itu, telah dilakukan operasi pencegahan kejahatan dan pengamanan hutan dari perambahan sebanyak 400 kali, operasi pengamanan tumbuhan dan satwa liar 248 kali, dan operasi pencegahan dan pengamanan hutan dan hasil hutan sebanyak 978 kali.
Upaya-upaya penegakan hukum terbukti efektif untuk shock therapy dan penguatan efek jera. Hal ini dilakukan melalui langkah-langkah operasi pencegahan, pengawasan dan penyelesaian sengketa.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup KLHK, Rasio Ridho Sani, mengatakan, kejahatan terhadap lingkungan hidup dan kehutanan termasuk kejahatan serius dan luar biasa. Kelestarian SDA akan berdampak pada ekologi, sosial dan ekonomi.
Baca Juga: KLHK Sambut Baik Penolakan Praperadilan Tersangka Kasus Kayu Ilegal
“Bayangkan kalau sumber daya alam ini rusak. Apakah memajukan kesejahteraan umum dapat tercapai? Apakah mungkin bisa mencerdaskan kehidupan bangsa kalau lingkungan tercemar logam berat?” kata Roy, sapaan akrabnya dalam Ngobrol Pintar (Ngopi) PWI Riau, di Pekanbaru, Senin (22/4/2019), yang bertepatan dengan Hari Bumi.
Jenis kejahatan lain meliputi kerusakan lingkungan, limbah dan pencemaran industri. Untuk itu, dalam upaya law enforcement, penegakan hukum dilakukan pengawasan terhadap 3.651 pengawasan izin, penanganan 3.001 pengaduan dan telah dijatuhkan sanksi administratif 618, serta sanksi pidana 601 kasus P21 dan untuk 164 kasus dilakukan proses di Polri dan Kejaksaan.
Di Provinsi Riau sendiri, penegakan hukum LHK meliputi penegakan hukum pidana 48 kasus P21, sanksi administrasi 72, dan putusan perdata yang Inkracht 3, yaitu PT. MPL dengan denda Rp 16,2 triliun, PT NSP Rp 491 miliar, dan PT. JJP senilai Rp 1,07 triliun.
Menurut Roy, kejadian lingkungan hidup dan kehutanan terjadi karena 3 hal, yaitu ketidaktahuan, kesempatan dan keinginan jahat. Tantangan penegakan hukumnya juga kompleks dan dinamis karena multiaktor dan modus, sering terjadi perlawanan, pembuktian sulit, dan rantai kerja yang panjang.
Pada kesempatan itu, guru besar perlindungan hutan, Prof. Bambang Hero Saharjo menambahkan, pembuktian kasus lingkungan hidup dan kehutanan tidak mudah. Selain butuh kemampuan yang prima dengan kemampuan teknologi terkini, juga harus siap berhadapan dengan berbagai risiko yang terkadang di luar dugaan.
Baca Juga: KLHK Resmikan Sejumlah Fasilitas Pengelolaan Sampah di Jabar
Tantangan besar yang dihadapi adalah ketika proses pembuktian berlangsung di persidangan, dimana para penegak hukumnya justru banyak yang tidak paham akan perkara yang disidangkan.
“Sekali lingkungan hidup mengalami kerusakan atau penurunan kualitas dan kuantitas, maka upaya pemulihan yang dilakukan manusia tidak dapat mengembalikan sepenuhnya pada lingkungan hidup keadaan semula. Manusia tidak mampu menciptakan sumber daya alam karena penciptaan itu adalah kekuasaan Tuhan yang Maha Esa," ujarnya.
Menghadapi tantangan ke depan, Roy mengungkapkan, KLHK akan memperkuat beberapa hal. Pertama, mengembangkan sistem big data untuk menggali informasi lebih dalam, selanjutnya penggunaan sains dan teknologi juga berperan penting dalam meningkatkan kecepatan dan ketepatan penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan yang lebih efektif.
Terakhir, komitmen dari eksekutif, legislatif, serta yudikatif yang kuat, berperan penting dalam penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan.
Turut hadir dalam acara acara PWI Riau kali ini, Direktur Penanganan, Pengaduan, Pengawasan dan Sanksi Administrasi KLHK, Sugeng Priyanto, Kepala Biro Hubungan Masyarakat KLHK, Djati Witjaksono Hadi, Kepala Pusat P3E Sumatera, Amral Very, dan Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) KLHK di Riau.