Suara.com - "Kurela pergi pagi pulang pagi..." Potongan lirik lagu yang dipopulerkan grup band Armada sepertinya pantas disematkan kepada para pekerja demokrasi tanpa pamrih demi keberhasilan Pemilu 2019.
Betapa tidak, dari pertama kali dilantik pada awal Maret 2019 hingga berakhirnya proses pemungutan dan penghitungan suara pasangan calon presiden/wakil presiden dan calon anggota DPR, para petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN) Beijing belum menerima honor sepeser pun.
"Dari awal kami gabung, tidak pernah memikirkan itu (honor)," kata Faqih Ma'arif, mahasiswa Beijing University of Aeronautics and Astronautics seperti dikutip Antara, Sabtu (20/4/2019).
Kandidat doktor bidang struktur gedung asal Sleman, DI Yogyakarta, itu merasa terpanggil untuk bisa menjadi bagian dari penyelenggara pemilu bagi warga negara Indonesia di Ibu Kota China tersebut.
Baca Juga: Stres Hitung Suara, Ketua KPPS Malang Tikam Pisau ke Perut Sendiri
Sampai-sampai waktu berkumpul keluarganya di Sleman saat liburan semester bersamaan dengan musim libur panjang Tahun Baru Imlek beberapa waktu lalu terpotong karena harus buru-buru balik ke Beijing atas panggilan Panitia Pemilu Luar Negeri (PPLN) setempat.
Demikian pula dengan Lenny Damayanti, anggota KPPSLN Beijing, yang berdomisili di Kota Tianjin. Gadis berusia 22 tahun itu hampir setiap hari selama masa pemungutan dan penghitungan suara rela menempuh perjalanan hampir 200 kilometer.
Tiket kereta api cepat kelas ekonomi dari Tianjin menuju Beijing bertarif 54 RMB atau sekitar Rp113.000 tidak pernah dimintakan ganti.
Sebagai pelajar di negara orang, gadis asal Kota Batu, Jawa Timur, itu sudah barang tentu butuh uang.
"Bukan uang tujuan saya ikut tes ini," ujar mahasiswi S1 Tianjin University of Science and Technology saat diwawancarai para anggota PPLN Beijing pada pertengahan Februari 2019.
Saat aktivitasnya di KPPSLN sampai larut malam, Lenny terpaksa "nebeng" di rumah temannya karena kereta api terakhir dari Stasiun Beijingnan ke Tianjinxi berangkat pukul 23.00.
Baca Juga: Ketua KPPS di Sleman Gantung Diri Bukan karena Masalah Pemilu
Tidak mengherankan pula saat PPLN Beijing mengumumkan lowongan KPPSLN secara daring, banyak WNI yang berminat untuk melamar.
Setelah melalui seleksi administrasi dan wawancara, terpilihlah sebanyak 25 orang anggota KPPSLN. Mereka dari kalangan pelajar dan masyarakat umum pemegang paspor Indonesia.
Sejak dilantik pada 2 Maret 2019, mereka langsung "tancap gas" bekerja siang-malam di salah satu ruangan di Kedutaan Besar RI di Beijing.
Berbeda dengan di Indonesia, anggota KPPSLN Beijing bekerja lebih awal karena harus mempersiapkan pengiriman surat suara kepada WNI yang tinggal di 18 provinsi/munisipalitas di China ditambah Mongolia melalui pos.
Tingginya tingkat partisipasi pemilih, baik yang datang langsung ke TPS pada tanggal 14 April 2019 maupun yang dikirim surat suara melalui pos mulai 17 Maret 2019, tidak pernah mereka duga.
"Yang didatangi langsung C6 (formulir pemberitahuan dari KPU kepada pemilih agar memberikan hak suaranya) saja tidak sampai segitu. Lah di sini yang C6-nya dikirim via pos dan bahkan ada yang online, tapi yang milih banyak banget," tutur Faqih dengan membandingkan pengalamannya bertugas di TPS Kabupaten Brebes pada Pemilu 2009 dan TPS di Kabupaten Sleman pada Pemilu 2014 yang rendah partisipasinya.
Kalau melihat WNI yang tinggal China dan Mongolia tidak tersosialisasikan program-program kerja dari para kandidat dengan baik, tentu tingkat partisipasi yang mencapai 76 persen pada Pemilu 2019 cukup menggembirakan.
Apalagi jika dibandingkan dengan pemilu lima tahun lalu di China yang tingkat partisipasinya jauh di bawah 50 persen.
Ditambah lagi WNI yang tinggal di daratan Tiongkok mayoritas kalangan milenial yang relatif abai terhadap konselasi perpolitikan nasional di Indonesia.
Mengganjal
KPPSLN Beijing terbilang unik karena anggotanya perpaduan antara generasi muda milenial dan generasi tua.
Selain anggota KPPSLN Bejing termuda berusia 22 tahun, ada juga yang berusia 60 tahun lebih, bahkan telah beberapa kali terlibat sebagai penyelenggara.
Tua atau muda, pengalaman atau tidak, sama sekali bukan sekat yang membedakan keduanya. Mereka tidak tidur dalam waktu yang relatif lama untuk menghindari kesalahan dalam rekapitulasi dan input data hasil penghitungan suara.
Terbukti dedikasi mereka dalam menyukseskan pesta demokrasi lima tahunan di negara yang tidak pernah ada pemilu itu tidak diragukan lagi.
Tahapan Pemilu 2019, mulai pencocokan dan penelitian serta pendaftaran calon pemilih, pemungutan suara, penghitungan, rekapitulasi, hingga input data melalui Situng KPU-RI telah rampung dikerjakan PPLN dan KPPSLN Beijing.
Meskipun demikian, ada hal yang sangat mengganjal di benak anggota KPPSLN Beijing manakala beberapa pihak menengarai adanya kecurangan.
"Betapa kecewanya kalau ada rekan sesama KPPS yang dituduh curang karena kami ini bekerja mulai pagi sampai pagi lagi," kata Tirta Leonardi, anggota KPPSLN Beijing.
Mahasiswa S1 jurusan Elektro di Beijing Institute of Technology itu mengakui bahwa pemilu tahun ini lebih rumit dibandingkan tahun lalu, terutama dalam hal pengisian formulir mulai dari daftar pemilih hingga input data hasil penghitungan suara.
Pelajar berusia 22 tahun asal Bekasi itu menyadari rumitnya proses pemungutan dan penghitungan suara saat ini berakar dari pengalaman yang sudah-sudah.
"Setiap tahap membutuhkan validasi akurat dari beberapa orang yang terlibat, termasuk setiap anggota PPLN. Sangat kecil peluangnya untuk berbuat curang," tuturnya.
Dibutuhkan kejelian dalam mengisi setiap formulir pemungutan, penghitungan, dan input data Situng sehingga tanpa terasa 36 jam mulai Rabu (17/4) pagi sampai Kamis (18/4) sore mata Tirta tak terpejam.
Saat semua pekerjaan berakhir Tirta, Faqih, Lenny, dan anggota KPPSLN Beijing lainnya tidak menanyakan atau bahkan menerima honor. Namun hal itu bukan berarti mereka tidak mendapatkan honor karena KPU-RI sudah menganggarkannya.
Bagi mereka ikut menyukseskan perhelatan akbar politik lima tahunan itu sudah sangat berarti karena belum tentu lima tahun mendatang mereka bisa memiliki kesempatan yang sama.
"Kami merasa terhormat karena bisa bantu negara sendiri di luar negeri yang tidak bisa dihargai dengan suatu apa pun," kata Faqih yang juga Ketua Pusat Kajian Sains dan Teknologi Bidang Hak Kekayaan Intelektual Perhimpunan Pelajar Indonesia di Tiongkok itu.