"Digitalisasi juga memunculkan mental serba instan, 'tergesa-gesa'. Itu terekspresikan dalam kecenderungan sikap reaktif, terburu-buru, impulsif," katanya.
Selain itu, kata dia, interaksi secara virtual juga berpotensi mereduksi nilai-nilai sosial.
"Budaya guyub, hangat, tergantikan oleh praktik interaksi yang miskin emosi. Nilai-nilai empati tergerus oleh ilusi eksistensi. Di situlah, kita melihat kasus Audrey terjadi, konflik terbangun dalam interaksi melalui medsos. Sementara kita tahu, banyak pesan yang tereduksi dalam komunikasi via medsos. Aspek-aspek nonverbal, makin menghilang, meskipun ada emoticon," katanya.
Dengan demikian, potensi orang menjadi salah paham lebih besar, ketika aspek nonverbal tidak hadir.
Baca Juga: Uya Kuya Minta Pengeroyok Audrey Dihukum Berat
"Misalkan, orang bercanda bisa dianggap serius atau sebaliknya," katanya.
Di juga mengatakan bahwa aksi keroyokan hanya salah satu ekspresi perilaku agresi.
"Dan kecenderungan agresi bisa dipicu oleh banyak hal, termasuk juga oleh game online yang banyak berisi konten kekerasan. Intinya, sangat mungkin perilaku seperti itu dipengaruhi oleh media yang mereka pakai sehari-hari," katanya. (Antara)