Suara.com - Indonesia diakui sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Namun, benarkah DPR RI sebagai institusi representasi politik warga sudah benar-benar demokratis?
Salah satu parameter untuk mengukur demokratis atau tidaknya DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat adalah perimbangan jumlah anggota dewan berjenis kelamin laki-laki dan perempuan.
Hal tersebut bahkan diatur melalui perangkat perundang-undangan, yang menyaratkan dewan pengurus pusat partai politik harus menyertakan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.
Begitu pula dalam susunan caleg, setiap tiga caleg suatu parpol harus ada satu perempuan.
Baca Juga: Kalah di Survei, PAN: Gerakan Masyarakat Menangkan Prabowo Luar Biasa
Selain untuk memenuhi kriteria ideal negara demokratis, peraturan hukum untuk meningkatkan peran perempuan dalam politik itu juga didasarkan pada data konkret penduduk.
Berdasarkan data Proyeksi Penduduk Indonesia 2010 – 2035, jumlah orang yang hidup di negeri ini tahun 2017 mencapai 261,9 juta jiwa. Sebanyak 130,3 juta jiwa atau sekitar 49,75 persen di antaranya adalah perempuan.
Namun, melalui penelitian Ella S Prihatini—kandidat PhD School of Social Sciences The University of Western Australia—menunjukkan paras parlemen Indonesia yang masih maskulin.
Ferrell Christensen, filsuf yang menjadi profesor di University of Alberta Kanada, menjelaskan maskulinisme dipakai sebagai terminologi untuk merujuk situasi politik, ekonomi, sosial dan budaya yang didominasi karakter maskulin nan macho seorang pria.
Sementara ilmuan politik Georgia Duers-Lahti menyebut maskulinisme dalam plitik adalah bagian dari budaya patriarki yang menempatkan perempuan sebagai 'gender kedua' alias warga negara rendahan.
Baca Juga: Dua Kali Dibantai Arema FC, Pelatih Kalteng Putra Minta Maaf
Hasil penelitian Ella S Prihatini yang diterbitkan pada jurnal Women’s Studies International Forum edisi 72 tahun 2019, menunjukkan DPR RI didominasi oleh politikus laki-laki yang mayoritas berasal dari pulau Jawa.