Suara.com - The Guardian, media prestisius di Inggris, memuat artikel pada laman daring mereka yang menyebut Jokowi adalah Obama Indonesia, tapi gagal memenuhi ekspektasi.
Artikel yang disusun Kate Lamb—jurnalis The Guardian di Jakarta—tersebut secara kritis menyoroti ekonomi politik Indonesia era Jokowi. Berikut artikel tersebut yang sudah dialihbahasakan oleh Suara.com.
KETIKA pemilu akan digelar di satu-satunya negara demokratis sejati di Asia Tenggara, banyak orang bertanya-tanya, apakah sang presiden telah cukup banyak berbuat?
Lima tahun yang lalu, Jokowi adalah sosok ikon demokrasi Asia Tenggara, 'Obama-nya Indonesia'. Wajahnya terpampang di majalah Time dengan tiga kata: A New Hope (Sebuah Harapan Baru).
Baca Juga: Video Hoaks Server KPU Menangkan Jokowi Diambil di Rumah Eks Bupati Serang
Ketika Jokowi terpilih sebagai presiden dari satu-satunya negara demokrasi yang tersisa di Asia Tenggara, itu adalah momen pembenaran kemenangan. Sebuah bukti bahwa rakyat biasa bisa mengalahkan oligarki yang sudah mengakar.
Jokowi menjelma sebagai politikus populer. Kariernya yang cepat beranjak naik mulai dari pengusaha furnitur, menjadi wali kota sebuah kota kecil, Gubernur Jakarta yang berpikiran reformis, dan akhirnya presiden, adalah semacam dongeng politik bagi demokrasi Indonesia.
Promosi tentang Jokowi bahkan dilebih-lebihkan karena sangat kontras dengan lawannya, Prabowo Subianto, mantan jenderal militer yang dituduh melakukan pelanggaran HAM sekaligus juga mantan menantu Soeharto --pemimpin rezim Orde Baru yang diturunkan gerakan massa pada 1998.
Prabowo bisa disebut melambangkan penjaga otokratis, yang masih bernafsu memperebutkan kekuasaan.
Selang lima tahun, kini Jokowi dan Prabowo akan kembali bersaing untuk menjadi presiden pada Pemilihan Umum 17 April 2019. Tapi kali ini, suasananya sangat berbeda dengan 2014.
Baca Juga: Hotel Mumbai: Memunculkan Kembali Tragedi Mengerikan pada 2008
Pemenuhan hak-hak kaum LGBT dan kaum minoritas agama anjlok; serangkaian penangkapan yang mengancam kebebasan berekspresi; pertanyaan tentang netralitas polisi dan rencana penempatan TNI di ruang sipil, membuat pujian bahwa Jokowi sosok demokratis, jadi tergerus.