Suara.com - Capres urut 2 Prabowo Subianto, secara tenang mengutip diktum penguasa polis Athena—kini Yunani—untuk mengawali debatnya dengan sang rival, Jokowi, mengenai kondisi militer Indonesia yang diklaimnya lemah, saat debat keempat Pilpres 2019, Sabtu (30/3) akhir pekan lalu.
“Saya ingat adagium Thucydides, sejarawan Yunani kuno yang hidup 2.500 tahun lalu, mengatakan bahwa strong will do what they can, and the weak suffer what they must. Yang kuat akan berbuat sekehendaknya yang lemah harus menderita. Karena itu saya menilai pertahanan Indonesia terlalu lemah, jauh dari yang diharapkan,” tuturnya.
Ini bukan kali pertama Prabowo menukil tulisan Thucydides, terutama mengenai diktum tersebut. Pada 21 Oktober 2017, ketika hadir dalam acara Conference on Indonesian Foreign Policy, di The Kasablanka, Jakarta Selatan, Prabowo mengutip kalimat yang sama.
Sedangkan pada tanggal 14 Januari 2019, ketika membacakan pidato kebangsaan berjudul “Indonesia Menang”, di Plennary Hall Jakarta Convention Center, Prabowo juga mengutip diktum tersebut.
Baca Juga: Atasi Konvoi Berisik, Polresta Surakarta Lakukan Layanan Keren
Dalam debat keempat pilpres, Prabowo menjelaskan pertahanan dan keamanan adalah sangat penting untuk negara. Sebab, adalah suatu kemustahilan kekayaan bangsa bisa dinikmati rakyat kalau tak dijaga oleh kekuataan pertahanan yang kuat.
Setelah melontarkan adagium Thucydides, Prabowo mengatakan, ”Karena itu saya menilai pertahanan Indonesia terlalu lemah, jauh dari yang diharapkan. Kenapa? Karena kita tidak punya uang, karena itu kita harus menjaga keuangan kita. Kemana keuangan kita? Keuangan kita, kekayaan kita, harta kita tidak tinggal di Indonesia, karena itu kita lemah.”
Prabowo lantas mencibir diplomat-diplomat. “Mau kita diplomasi. Ada ini duta besar di sini, Your excellences, welcome. Apakah kita sadar bahwa sebenarnya kita diejek? Dia senyum di depan kita, tapi we have nothing we have no power.”
Tak puas, Prabowo lantas mengungkapkan pernyataan Menteri Pertahanan era pertama kepemimpin Presiden SBY, yakni Juwono Sudarsono, untuk menguatkan argumentasi bahwa militer Indonesia terlampau lemah.
“Pak Juwono Sudarsono mengatakan kepada saya, ‘I am not the Indonesian minister of defense. I am the Indonesian defenceless minister’. Jadi bagi saya, kita harus tingkatkan pertama adalah anggaran pertahanan, tapi untuk itu kita harus membuat sistem. Hentikan kebocoran, kurangi korupsi, ubah sistem sehingga kekayaan Indonesia tidak mengalir ke luar negeri. Ini masalah inti. Terima kasih,” tutup Prabowo.
Baca Juga: Kabur dari Lapas saat Salat, Pelarian Pembunuh Gadis Berakhir sama Tentara
Hampir sepekan debat keempat Pilpres 2019 itu berlalu, tapi publik masih mempertanyakan, “Apakah sektor pertahanan dan keamanan Indonesia harus diguyur lebih banyak lagi dana agar Indonesia tak menjadi lemah dan tergerus seperti diktum Thucydides?”
Nomor 15 Dunia, Terkuat di ASEAN
Prabowo bukan tanpa bekal data saat mengatakan dana anggaran untuk sektor pertahanan serta keamanan Indonesia terbilang kecil.
Dalam debat keempat pilpres itu, Prabowo menyindir Jokowi yang mendapat laporan-laporan tak tepat dari para bawahan, sembari memaparkan data anggaran sektor pertahanan.
“Mungkin Pak Jokowi dapat briefing-briefing yang kurang tepat. Tadi 107 Triliun itu, ya 5 persen dari APBN kita, 0,8 persen dari GDP kita. Padahal Singapura itu anggaran pertahanannya 30 persen dari APBN-nya dan 3 persen dari GDP mereka,” ungkapnya.
Dalam data, Prabowo benar. Merujuk data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), anggaran militer Indonesia tertinggal jauh dari Singapura.
Anggaran militer Indonesia hanya 0,81 persen dari PDB. Sementara Singapura mencapai 3,32 persen dari PDB. Secara statistik, anggaran militer Indonesia terendah, bahkan di bawah Timor Leste yang notabene mantan provinsi.
Namun, setidaknya dalam dua tahun terakhir, dana militer pada APBN mengalami peningkatan. Pada APBN 2018, dana anggaran yang dikelola Kementerian Pertahanan mencapai Rp 107,8 triliun. Jumlah itu naik pada tahun 2019, menjadi Rp 108,4 triliun.
Peningkatan anggaran tersebut seiring sejalan dengan peringkat kekuatan militer Indonesia yang cenderung diperhitungkan secara global.
Itu kalau merujuk hasil survei yang dihelat Global Firepower (GFP) tahun 2018. Tahun lalu, menurut GFP, kekuatan TNI berada di peringkat 15 terkuat dunia.
PowerIndex (Pwrindx) militer Indonesia berada di level 0,2804. Untuk diketahui, indeks mendekati 0 menunjukkan kekuatan militer negara semakin kuat.
Sebagai catatan, Indonesia adalah satu-satunya negara di kawasan Asia Tenggara yang masuk 15 besar kekuatan militer terbaik dunia. Indonesia sendiri tepat berada di bawah Jerman, Italia, Mesir, Brasil, dan Iran. Dengan demikian, militer Indonesia terkuat di kawasan Asia Tenggara.
Survei GFP itu menyebut kekuatan militer Indonesia ditopang oleh 800.000 personel tentara, 41 pesawat tempur dan 65 pesawat penyerang.
Pada wilayah daratan, militer Indonesia memunyai 315 tank baja, 1.300 kendaraan lapis baja, 141 artileri, plus 36 peluncur roket.
Angkatan Laut Indonesia juga memunyai 8 kapal fregates, 24 kapal corvette, 5 kapal selam, serta 139 kapal patroli vessel.
Uniknya, pemeringkatan GFP tersebut tak melulu didasari oleh kekuatan militer. Indeks itu juga menyebut keunggulan Indonesia sehingga masuk peringkat 15 besar dunia karena 55 indikator lain semisal jumlah penduduk yang merupakan tentara cadangan, geografis, fleksibilitas logistik, hingga cadangan sumber daya alam.
Karenanya, kalau merujuk pada survei GFP dalam bidang kemiliteran tersebut, argumentasi Prabowo bahwa aspek yang bisa membuat militer serta pertahanan Indonesia kuat adalah dengan mengguyur dana lebih besar lagi, tak begitu tepat.
Pun kalau memakai perbandingan Indonesia – Singapura yang disajikan Prabowo dalam debat. Dalam sektor belanja militer, Indonesia hanya kalah dari Singapura, tapi negara-negara ASEAN lainnya berada di peringkat bawah.
Kembali merujuk data GFP, dengan dana anggaran belanja militer senilai USD 6,9 miliar atau setara Rp 98 triliun menempatkan Indonesia pada posisi kedua setelah Singapura. Negeri Singa tersebut memunyai anggaran belanja militer USD 9,7 miliar atau setara Rp 135 triliun.
Sementara kalau dihitung secara global, dana anggaran belanja militer Indonesia berada pada urutan ke-30 dari 157 negara yang disurvei GFP.
Perangkap Thucydides
Hamparan data mengenai kekuatan militer Indonesia tersebut akhirnya hanya menyisakan pertanyaan, “Perlukah anggaran militer kembali ditambah agar tak menjadi ‘si lemah’ dalam diktum Thucydides, agar tak diinvasi militer negara lain?”
Thucydides adalah saksi sejarah dari peperangan antara dua polis atau negara kota terkuat di Yunani arkais, yakni Athena versus Sparta yang terjadi antara 431 – 404 Sebelum Masehi.
Ia mengabadikan momen tersebut dalam jilid besar buku berjudul Sejarah Perang Peloponnesian. Dalam artikel ini, Suara.com menggunakan translasi MI Finley dan R Warner’s berjudul Thucydides: History of the Peloponnesian War (New York; 1972).
Delapan jilid buku Thucydides itu sebenarnya tak selesai. Kitab itu berakhir tiba-tiba di tengah bab, seolah-olah—suatu hari—Thucydides meletakkan pena dan pergi begitu saja dari meja tulis, dan tak pernah kembali.
Karenanya, banyak tulisan kesaksian Thucydides yang membingungkan dalam buku tersebut, meski kitab babonnya itu dijadikan rujukan para politikus genre realis modern.
Dalam catatan Thucydides, perang Peloponnesia memuncak pada kemenangan Sparta yang mengejutkan atas Athena, dan mengakhiri dinamika kekuatan yang telah membentuk dunia Aegean kuno selama beberapa dekade.
Semuanya berubah setelahnya. Kedua kekuatan utama keluar dari perang yang sangat lemah, membuka pintu bagi aneksasi Yunani oleh Philip dari Makedonia—putranya Alexander Agung—dan, akhirnya, bangsa Romawi.
Melalui buku itu, Thucydides sendiri menawarkan genre baru dalam penulisan sejarah pada masa-masa kuno. Ia menyerang sejarawan beken pendahulunya seperti Homer dan Herodotus dan menawarkan gaya penulisan sejarah yang bertumpu pada ketelitian, ketajaman, dan analisis fakta-fakta sehingga ia mendapatkan gelar “bapak sejarah”.
Tapi, yang tak banyak diketahui—dan juga tak disebutkan Prabowo saat debat keempat Pilpres 2019—adalah, Thucydides merupakan seorang strategos atau komandan tingkat tinggi militer Athena.
Karenanya, banyak kesimpulan-kesimpulan Thucydides mengenai politik selalu dipengaruhi oleh strategi perang. Dengan kata lain, politik bagi Thucydides selalu ditujukan untuk keberlangsungan peperangan dan memenangkannya.
Julia Kindt, Profesor dan Kepala Departemen Sejarah Klasik – Kuno University of Sydney, dalam artikel berjudul “Guide to the classics: Thucydides’s History of the Peloponnesian War”, 13 Juni 2017, mengatakan sebagai berikut:
“Sebagai komandan tinggi militer Athena, Thucydides membawa proyek penulisan sejarah miliknya ke pusaran akut tentang politik kekuasaan yang rumit di balik peristiwa dalam medan perang.”
Julia Kindt menjelaskan, Thucydides melalui buku itu sebenarnya mengajukan argumentasi utama bahwa Athena dan Sparta sengaja dibangun untuk berkonflik. Semua sektor kehidupan dalam dua polisi itu sebenarnya dipersiapkan untuk bekonflik pula.
Buku Thucydides itu sendiri sebenarnya berintikan pada dua dialog berjudul “Debat Mytilenean” dan “Dialog Melian”.
Debat Mytilenean bercerita mengenai pengambilan keputusan para petinggi negara dan militer Athena, apakah mereka akan memusnahkan kota Mytilene di ionia Barat (Asia kecil) sebagai balasan atas pemberontakan di sana.
Dua orang militer berdebat mengenai hal tersebut. Cleon—jenderal perang Athena—menganjurkan mengerahkan pasukan untuk membumihanguskan Mytilene. Ia beralasan, invasi itu perlu dilakukan agar menjadi contoh bagi sekutu Athena lain untuk tidak memberontak.
Namun, argumentasi Cleon disanggah oleh Diodotus. Ia mengatakan, invasi itu tak perlu dilakukan. Sebagai alternatif, Athena harus merangkul serta menaruh orang-orangnya pada institusi militer dan pemerintah sipil Mytilene. Dengan begitu, sumber daya alam dan manusia di Mytilene bisa tetap aman dan digunakan untuk kepentingan peperangan Athena.
Sidang Athena lantas menerima argumen Diodotus, yang disebut-sebut sebagai praktik politik hegemoni alias penguasaan secara persuasif kali pertama dalam sejarah politik.
”Dengan demikian, Debat Mytilene dalam buku Thucydides itu hendak menyatakan bahwa Athena melakukan pendekatan lunak ketimbang militer untuk menguasai suatu negeri,” simpul Julia Kindt.
Namun, sisi lain Athena yang berbeda justru muncul dalam Dialog Melian. Dalam catatan Thucydides ini, para petinggi Athena ditampilkan dalam wajah pongah, angkuh. Mereka menggelar dialog demokratis mengenai ”Haruskan Melian (koloni Sparta) tetap dibiarkan damai atau tak diperangi dan tidak pula dimintakan upeti?”
Persoalan itu mengemuka setelah para petinggi Melian mengajukan permohonan damai dan menyampaikan sikap mereka yang netral alias tak memihak tatkala Athena berperang dengan Sparta.
Tapi, pemerintah Athena justru memutuskan hal yang mengejutkan melalui kalimat yang kerap dikutip Prabowo dalam sejumlah kesempatan.
Kalimat lengkapnya seperti ini:
”Standar keadilan bergantung pada kesetaraan kekuatan untuk memaksa, dan bahwa pada kenyataannya, yang kuat melakukan apa yang mereka bisa lakukan dengan kekuatannya. Sementara yang lemah menerima apa yang mereka bisa terima.” (Thucydides, 5:89)
Yang mungkin luput diketahui, atau tak disampaikan Prabowo saat debat adalah, kalimat tersebut tak bermakna positif pada Thucydides maupun para intelektual kekinian. Sebaliknya, Ia hendak menekankan negeri yang mengedepankan diktum tersebut justru bakal runtuh, seperti Athena ataupun Sparta.
Julia Kindt misalnya, mengasosiasikan kalimat ”Yang kuat akan berbuat sekehendaknya yang lemah harus menderita” itu dengan kemunculan populisme kanan pada era kekinian seperti naiknya Donald Trump sebagai Presiden AS.
”Alur pemikiran (Thucydides) ini masih bergema. Khususnya sekarang, ketika populisme muncul kembali. Para politikus menyadari kekuatan kata-kata untuk memengaruhi sentimen publik dan pengambilan keputusan yang menyakitkan,” tulisnya.
Profesor Harvard Kennedy School, Graham Tillet Allison, dalam buku berjudul Destined for War: Can America and China Escape Thucydides’ Trap? (2017), bahkan memopulerkan istilah ”Thucydides Trap” alias ”perangkapThucydides”.
Bagi Allison, frasa ”Yang kuat akan berbuat sekehendaknya, yang lemah harus menderita”, justru merupakan perangkap yang harus dihindari oleh para politikus maupun petinggi militer kekinian.
Ia mengtakan, perangkap Thucydides itu adalah ”Sebuah situasi di mana pertumbuhan kekuatan suatu negara yang meningkat, justru menimbulkan ketakutan negara lain yang jauh lebih mapan, dan mau tak mau, ketakutan itu mengarah pada perang.” (Allison hlm Xv).
Dengan kata lain, Alisson hendak menuturkan peningkatan signifikan kekuatan militer suatu negara justru menjadi penyebab meletusnya perang. Bukan sebaliknya, yakni lemahnya militer suatu negara bakal mengundang invasi negara lain.
Sebenarnya, kalau Prabowo mau lebih banyak membaca referensi, maka adagium Thucydides bahwa yang lemah bakal selalu ditindas itu bisa dimaknai secara terbalik—seperti yang dianjurkan Platon.
Platon dalam dialog Georgias menuturkan, Sokrates—gurunya—pernah mengkritik bahwa ”Hukum Athena tentang yang lemah selalu harus tunduk ditindas pada yang kuat” seperti ditulis Thucydides tersebut harus dimaknai secara terbalik.
”Apa yang disebut ’Hukum Orang Kuat’ seharusnya menjadi anjuran bagi yang lemah untuk bersatu. Bagi yang lemah secara individual, harus bisa menunjukkan kekuatan kolektif mereka sebagai kekuatan.” (Platon, Georgias, 488 c-e).
Pernyataan Sokrates itu tampak seiring sejalan dengan kondisi militer Indonesia. Meski anggaran militer Indonesia di bawah Singapura, tapi mampu menembus posisi 15 terkuat dunia karena turut dihitung sumber daya manusia dan alamnya.