Salib Dipotong hingga Tolak Sedekah Laut, 4 Kasus Intoleransi di Yogyakarta

Rabu, 03 April 2019 | 16:33 WIB
Salib Dipotong hingga Tolak Sedekah Laut, 4 Kasus Intoleransi di Yogyakarta
Salib nisan makam Albertus Slamet Sugiardi, warga Kelurahan Purbayan, Kotagede, Yogyakarta, terpaksa dipotong pada bagian atas sehingga menyerupai huruf T, sebagai syarat dimakamkan di kompleks TPU setempat. [Suara.com/Abdus Somad]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

10 kasus sepanjang 2018

Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) DIY mencatat ada 10 kasus intoleransi yang didominasi kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan di DIY pada 2018. 10 kasus ini terdiri dari enam kasus baru dan empat kasus lama yang belum selesai.

Koordinator ANBTI DIY Agnes Dwi Rusjiyati menjelaskan keempat kasus lama yang belum selesai tersebut adalah Pemkab Gunungkidul yang belum menerbitkan izin mendirikan bangunan (IMB) bagi permohonan klasis GKJ Wonosari, meskipun mereka sudah menang di Pengadilan Tinggi Usaha Negara (PTUN), dan beberapa kasus penutupan tempat ibadah di Sleman beberapa tahun lalu yang belum selesai.

Untuk kasus baru pada 2018, ia menjelaskan dimulai sejak Januari saat pembubaran bakti sosial di Pringgolayan, Banguntapan, Bantul lalu penyerangan Gereja St Lidwina di Sleman.

Baca Juga: Kejati DKI Tunjuk 2 Jaksa Teliti Berkas Perkara Kerabat Prabowo Subianto

Penyerangan atau penolakan acara sedekah laut di Pantai Baru, Bantul, penyerangan di Pengadilan Negeri Bantul terkait dengan kasus pameran Wiji Tukul, hingga kasus terbaru pemotongan salib nisan warga Katholik di Kotagede, Jogja.

"Kasus-kasus tersebut terjadi karena beberapa faktor," katanya seperti dikutip SUARA.com dari partner content Harianjogja.com, Kamis, (20/12/2018).

Faktor tersebut adalah peran dari negara yang belum berfungsi secara penuh dalam memberikan edukasi kepada masyarakat terkait dengan aturan hidup dalam keberagaman.

"Masih banyak kasus yang terjadi karena mayoritas yang merasa memilik hak untuk mengatur minoritas, hal ini terjadi karena kurangnya edukasi kepada masyarakat," ujarnya.

Kesadaran publik belum sepenuhnya baik, menurutnya, merupakan salah satu faktor terjadinya kasus tersebut. Harusnya kata dia masyarakat sipil terus mendorong negara untuk memberikan perhatian terhadap hal ini.

Baca Juga: Melawan Hukum, Bupati Bantul Minta Aturan Larang Pendatang Nonmuslim Diubah

Masyarakat sipil, juga harusnya memperkuat masyarakat lain yang mengalami tekanan-tekanan dari kelompok mayoritas.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI