Sengketa Lahan Untag Versi Tedja Widjaja: Kriminalisasi Perjanjian Bisnis

Kamis, 28 Maret 2019 | 11:30 WIB
Sengketa Lahan Untag Versi Tedja Widjaja: Kriminalisasi Perjanjian Bisnis
Saksi dari jaksa penuntut umum mengaku banyak tidak tahu soal sengketa tanah Untag. (Suara.com/Walda Marison)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Kepengurusan Palsu

Proses persidangan sengketa lahan yayasan Untag sendiri banyak diwarnai kejanggalan. Seringkali sidang ditunda karena dari pihak penutut umum tidak bisa menghadirkan saksi yang sudah diagendakan. Terutama, saksi yang menjadi kunci dalam perkara ini, yaitu Rudyono Darsono, yang juga menjabat Dewan Pembina Yayasan Untag.

Tercatat lebih dari dua kali Rudyono tidak hadir memenuhi panggilan sidang dengan berbagai alasan. Hingga akhirnya majelis hakim memberi ultimatum kepada jaksa untuk menghadirkannya di persidangan.

Sepak terjang Rudyono hingga bisa menjadi Pembina di Yayasan Untag juga cukup janggal, karena dia bukan orang lama. Rudyono sejatinya baru berhubungan dengan Yayasan Untag pada 2009, ketika diberi kuasa oleh Yayasan untuk mencari investor. Pada 2010, Rudyono kemudian menjadi Ketua Yayasan sementara ketua saat itu ingin lebih fokus di rektorat.

Baca Juga: Sengketa Lahan Untag, Pembayaran Terdakwa Melebihi Perjanjian

Menurut mantan pengurus Yayasan Untag, Fatah Jaelani, kepemimpinan Rudyono tersebut sebenarnya bersifat sementara dan nantinya ketua yayasan akan dikembalikan ke pengurus lama. Pada tahun itu juga, selain sebagai pengurus Yayasan, Rudyono tercatat sebagai salah satu direktur di PT Graha mahardika bersama dengan Tedja.

Saat bersaksi di persidangan, Fatah mengaku sebagai orang yang menandatangani surat kuasa kepada Rudyono untuk menjalin kerja sama dengan investor, termasuk melakukan penjualan aset tanah milik yayasan, dalam rangka pengembangan Untag. Namun demikian, dia dan pihak Yayasan tidak pernah mendapat laporan bahwa telah terjadi transaksi jual beli antara Rudyono mewakili Yayasan Untag dengan PT GM pada 2010.

“Saya baru tahu belakangan sudah terjadi jual beli dan bahkan sudah AJB dengan PT GM yang di dalamnya juga ternyata ada Rudyono. Kemudian saya coba cari informasi ke PT GM dan kemudian saya ditunjukkan bukti-bukti bahwa telah terjadi transaksi dan sudah terjadi pembayaran, namun tidak masuk ke rekening yayasan,” ujarnya.

Menurut Fatah, hal itu terjadi karena tanpa sepengetahuannya, ternyata ada dua kepengurusan yayasan dengan akta dan nomor rekening berbeda. Sesuai akta kepengurusan yayasan tahun 2014, Fatah menjabat sebagai Ketua Yayasan. Namun, ternyata ada akta kepengurusan lain dengan tahun yang sama yang mencantumkan Rudyono sebagai Ketua Yayasan.

Atas penyimpangan tersebut, Fatah beserta para pengurus lama yayasan, dosen dan sejumlah mahasiwa sempat melakukan demo untuk meminta pertanggungjawaban Rudyono. Namun hal itu justru berakibat pemecatan terhadap sejumlah dosen dan mahasiwa. Fatah juga mengaku telah mengirim surat ke Kementerian Hukum dan HAM pada tahun lalu untuk meninjau kembali akta kepengurusan yayasan tahun 2014 yang mencantumkan nama Rudyono sebagai ketua.

Baca Juga: Sengketa Tanah, Tedja Wijaya Hadirkan Eks Ketua Yayasan dan Eks Dosen Untag

“Menurut bukti baru yang diperoleh, akta tersebut ternyata banyak cacat hukumnya,” kata Fatah.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI