Mantan Direktu PT GM, Dwito Hindarto menyatakan bahwa terdakwa telah menyelesaikan seluruh kewajibannya terkait perjanjian dengan Yayasan Untag. Sesuai akta nomor 58, pembayaran untuk pembelian lahan milik Yayasan 3,2 ha dilakukan dalam beberapa mekanisme. Pertama, uang muka sebesar Rp 6,5 miliar.
Kedua, pembangunan gedung kampus senilai Rp 24 miliar. Ketiga, pembayaran sebesar Rp 15 miliar untuk penggantian lahan yang akan diurus oleh Yayasan. Lalu, pembayaran sebesar Rp 16 miliar secara bertahap.
“Semua pembayaran telah dilakukan, ada bukti-buktinya. Bahkan uang yang dikeluarkan akhirnya lebih besar, mencapai sekitar Rp 90 miliar karena ada pembengkakan biaya. Misalnya, untuk pembangunan gedung kampus menjadi Rp 30 miliar dari yang disepakati Rp 24 miliar,” tutur Dwito.
Menurut keterangan saksi lainnya, Komalasari Wicaksana, selaku perwakilan dari salah satu pemegang saham PT GM, sertifikat yang dijaminkan oleh terdakwa ke bank adalah sertifikat yang sudah balik nama atas nama kepemilikan PT GM dan pribadi. Proses penjaminan ini juga diketahui Rudyono karena dia juga menjabat Direktur di PT GM dan hadir saat akad kredit pinjaman.
Baca Juga: Sengketa Lahan Untag, Pembayaran Terdakwa Melebihi Perjanjian
Kuasa hukum Tedja, Nahot Silitonga mengatakan, keterangan tersebut mementahkan keterangan dan dakwaan penuntut yang menyebut terdakwa menjaminkan sertifikat tanah tanpa sepengetahuan Yayasan.
Lebih jauh Nahot mengatakan, tindakan pidana yang didakwakan kepada kliennya mengada-ada karena tidak didasarkan bukti-bukti yang kuat. Terdakwa telah melakukan seluruh kewajibanya termasuk pembangunan gedung kampus yang kemudian digunakan untuk kegitan perkuliahan.
“Semua itu ada buktinya. Kami sudah tunjukkan bukti-bukti pembayaran melalui transfer bank. Apakah bukti transfer bank ini tidak diakui,” ucapnya.
Menurut Nahot, seandainya memang dalam persoalan jual beli ini dari pihak Yayasan merasa dirugikan, seharusnya bisa ditempuh melalui jalur perdata, bukan dengan memidanakan terdakwa.
“Dalam kasus ini, ada kecurigaan bahwa motifnya adalah untuk mengusai kembali lahan yang sudah dijual karena korban juga mengakui bahwa harga tanah itu sekarang bisa ratusan miliar. Bahaya kalau begini. Ke depannya orang bisa jual lahan terus bisa ambil kembali dengan cara memidanakan pembeli,” paparnya.
Suparji, ahli hukum pidana dari Universitas Al-Azhar mengatakan, jika dalam suatu perkara hukum dasar persoalannya adalah perjanjian atau kesepakatan, maka seharusnya masuk ranah perdata. Misalnya, jika ada dari perjanjian yang tidak terpenuhi, pihak yang dirugikan bisa melakukan somasi atau gugatan wanprestasi.
Baca Juga: Sengketa Tanah, Tedja Wijaya Hadirkan Eks Ketua Yayasan dan Eks Dosen Untag
“Pada beberapa kasus dimungkinkan terjadi transformasi dari perdata ke pidana jika memang ditemukan unsur-unsur pidana seperti penipuan atau lainnya. Namun, hal itu harus dibuktikan melalui keterangan sejumlah saksi dan alat bukti. Tidak boleh hanya menggunakan satu alat bukti. Apalagi, jika itu hanya kesaksian dari korban,” tuturnya.