Rasa Pemilu di Kampung Naga, Antara Politik dan Aturan Leluhur

Rabu, 20 Maret 2019 | 12:26 WIB
Rasa Pemilu di Kampung Naga, Antara Politik dan Aturan Leluhur
Kampung Naga, Tasikmalaya, Jawa Barat. (Antara)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Di gapura di Desa Neglasari, di Jalan Raya Salawu yang menghubungkan Garut dan Tasikmalaya, perjalanan dengan kendaraan bermotor terhenti di lahan parkir yang tak jauh dari titik kumpul siapa saja yang ingin mengunjungi Kampung Naga. Di sekitar tempat itu ada Tugu Kujang Pusaka. Kujang adalah senjata tajam khas Jawa Barat.

Di satu bangunan tanpa nama yang sehari-hari berfungsi sebagai koperasi, beruntung mendapat seorang pemandu yang bisa mendampingi perjalanan menuju Kampung Naga.

Pemandu itu bernama Urya. "Urya saja," kata pemuda asli Kampung Naga itu, ketika ditanyakan nama lengkapnya.

Kami berjalan kaki di desa itu, menuruni 444 anak tangga. Urya yang berbusana pangsi hitam-hitam mengenakan iket atau totopong, kain ikat kepala khas Sunda, menceritakan bahwa jumlah anak tangga itu telah bertambah lima anaka tangga, dari jumlah 439 anak tangga sebelumnya. Anak tangga yang biasa disebut sengked tersebut dibuat dari pecahan bebatuan yang disemen.

Baca Juga: Ini Dua Presenter yang Diusulkan Jadi Moderator Debat Keempat Pilpres

Sampai di anak tangga paling bawah, kami sudah berada di persawahan dan berbagai kolam. Lalu sampai ke rumah-rumah penduduk asli Kampung Naga. Tampak bahwa masyarakat mereka dibangun atas dasar kebersamaan. Misalnya, untuk mandi, mereka masing-masing mandi di kamar mandi umum, begitu juga untuk buang hajat berada di tempat-tempat yang tersebar di atas kolam-kolam.

Di Kampung Naga terdapat 112 bangunan tradisional yakni 109 rumah dan tiga bangunan terdiri atas masjid, Bumi Ageung, dan Bale Kampung yang berjejer rapi dengan jumlah penghuni sebanyak 294 jiwa atau 101 kepala keluarga.

Di sebelah barat terdapat hutan larangan, selain terdapat makam keramat Eyang Singaparana, tetapi juga dilarang keras berburu hewan atau menebang pohon sembarangan.

Di sebelah selatan merupakan persawahan milik penduduk, serta di sebelah utara dan timur dibatasi oleh Sungai Ciwulan. Sungai itu berhulu di Gunung Cikuray, di Garut, tempat mata air sungai tersebut.

Pastikan "nyoblos"

Baca Juga: Diklaim Sejahterakan Petani, HKTI Dukung Jokowi di Pilpres 2019

Untuk mengetahui lebih dalam bagaimana penduduk Kampung Naga menjelang pemilu, ANTARA dipertemukan dengan Ucu Suherlan, pria berusia 53 tahun yang diangkat oleh masyarakat setempat sebagai juru pelihara dan sesepuh adat. Dalam susunan adat mereka dikenal pula seorang kuncen yang merupakan tokoh tertinggi di kampung itu, selain itu juga ada lebai yang berperan sebagai pemuka agama atau mengurus berbagai kegiatan keislaman di kampung setempat, dan para sesepuh yang berperan sebagai orang yang dituakan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI