Suara.com - Seorang pengguna kursi roda yang selamat dari penembakan di masjid Selandia Baru, namun istrinya menjadi korban tewas, memberikan tanda damai kepada pelaku, dengan mengatakan ia ingin bertemu dengannya dan mengatakan, "Saya masih menyayangimu."
Sebanyak 50 orang tewas di dua masjid di Kota South Island pada Jumat pekan lalu, saat seorang pria teroris bersenjata menerobos masuk, lalu memberondong para korbannya dengan peluru saat mereka menjalankan ibadah salah Jumat kini dipenuhi duka cita dan kesedihan.
"Saya ingin menyampaikan pesan kepada orang yang telah melakukan ini, atau jika ia memiliki teman yang juga berpikir seperti ini: Saya masih menyayangimu," ungkap pria yang berusia 59 tahun, Farid Ahmed, saat diwawancarai dengan jurnalis Reuters di kediamannya, di tengah banyaknya pelayat yang datang untuk mengucapkan belasungkawa atas kepergian istrinya, Husna.
"Saya tidak sependapat dengan apa yang telah Anda perbuat. Anda mengambil keputusan yang salah, petunjuk yang keliru, tetapi saya ingin percaya pada Anda, bahwa Anda memiliki potensi kebaikan di dalam hati Anda," kata dia.
Baca Juga: Update Banjir Bandang Sentani, 89 Orang Tewas, 74 Orang Hilang
Warga asal Australia, Brenton Tarrant, tersangka supremasi kulit putih, pada Sabtu didakwa dengan pembunuhan, penembakan massal paling brutal dalam sejarah Selandia Baru. Pria yang berusia 28 tahun itu dijebloskan ke penjara tanpa pembelaan dan kembali menjalani sidang pada 5 April mendatang. Polisi berpendapat bahwa Tarrant mungkin menghadapi banyak tuduhan.
Ahmed, yang menggunakan kursi roda sehabis ditabrak mobil, berada di masjid An-Nur saat pelaku menerobos masuk. Ia salat di tempat yang tidak biasanya, di ruang utama, namun di ruang depan dengan seorang temannya.
"Pada saat itu saya menyadari dua hal. Pertama, itu jelas suara tembakan dan yang kedua ini hari terakhir saya," katanya. "Karena situasi saat itu, dengan kursi roda, tidak mungkin untuk keluar dari masjid."
Namun pelaku tidak masuk ke ruangan yang ia tempati dan Ahmed berhasil melarikan diri ke parkiran, tempat ia menyaksikan langsung pembantaian dari balik mobil, di sisi lain masjid tempat istrinya ditembak di luar.
"Para jemaah berteriak dan bergegas ke luar ... saat mereka datang, mereka panik, saya melihat banyak orang berlumuran darah, banyak juga yang tertatih-tatih," ungkapnya.
Baca Juga: Diterjang Topan Idai, 1.000 Lebih Warga Mozambik Diperkirakan Tewas
Saat pelaku meninggalkan masjid untuk melanjutkan aksinya di masjid lain, Ahmed kembali masuk ke dalam masjid.
"Tidak dapat dipercaya," kata dia. "Sisi di sebelah kanan saya, tempat biasanya saya salat, banyak sekali mayat."
"Jemaah yang terluka berteriak." Ia menenangkan mereka sampai polisi datang, yang kemudian membawanya keluar dari masjid.
"Pada saat itu saya tidak tahu bahwa jasad istri saya berada di gerbang lain."
Sejak penembakan itu, kebingungan menjadi hal yang biasa, saat kota tersebut memahami skala tragedi itu.
Suara-suara lirih terdengar saat pekerja kantoran dan murid-murid sekolah datang untuk meletakkan bunga di dekat masjid dan tempat ibadah sementara di sepanjang kota.
Namun terdapat kemurahaan hari dan solidaritas, yang diteladani dari korban seperti Ahmed, yang berkhotbah di masjid dan menganjurkan agar orang bisa memaafkan.
"Jika saya diberikan kesempatan, Saya ingin bertemu dengan Anda," katanya tentang pria bersenjata itu. "Saya ingin memeluk Anda dan saya ingin memberitahu langsung kepadanya bahwa dari hati yang paling dalam, Saya tidak dendam kepada Anda, saya tidak pernah membenci Anda dan Saya tidak akan pernah membenci Anda," ucap Ahmed.
"Saya ingin memeluknya lalu mengatakan: Saya telah memaafkannya". Saya ingin menyampaikan kepadanya, Jika ia masih memiliki ibu, Saya juga ingin memeluknya dan mengatakan padanya bahwa saya akan memperlakukan dia persis seperti tante saya sendiri... Saya ingin menyampaikan pesan itu."